Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Mengenang Sumur di Rumah Mbah

25 April 2023   11:05 Diperbarui: 25 April 2023   11:21 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Sumur. (Sumber dari: Pixabay.com)

Sumur itu masih ada dalam kenangan. Sisi-sisinya berlumut, airnya menggenang jauh di dalam sana. Dari masa ke masa airnya selalu ada, seolah-olah abadi. Dari saya masih usia kanak-kanak, remaja, hingga dewasa sepertinya airnya segitu-gitu saja.

Saya masih kecil saat itu dan merasa bahagia ketika mandi pagi hari di sisi sumur. Belajar menimba airnya dan mengguyurkan air sumur ke tubuh di alam terbuka. Akan tetapi, setiap malam tiba, lokasi sumur yang berada di balik rumah Mbah itu berubah menjadi momok, yang mengerikan bagi saya. 

Saya  selalu menahan mulas atau kebelet buang air ketika malam tiba, karena takut ke belakang.  Itu bermula ketika saya gagal menahan mulas dan terpaksa menuju ke sumur. Sumur dan peturasan ( jamban) atau kamar kecil itu terletak di satu petak lingkungan yang berada di luar rumah. Untuk menuju ke sana saya harus melewati sejumlah tantangan yang membuat saya ketakutan.

Pertama, saya harus melintasi keluarga sapi, dua ekor sapi besar dan satu ekor anak sapi. Mereka sedang "tidur-tiduran" di samping pintu belakang. Mereka ada yang melirik, ada yang melenguh, dan terkadang sapi yang besar bangkit, membuat Mbah kakung kadang turun tangan menemani saya. Kedua, suasana yang gelap karena hanya ada lampu berwarna temaram yang tergantung jauh di atas langit-langit. Terlebih peturasan itu tersambung langsung dengan sawah dan bersebelahan dengan pekarangan  yang dipadati pohon bambu.  Ketiga, sambutan hewan-hewan liar yang berkeliran di sekitar  sana.

Saat itu mungkin pengalaman pertama saya mendengar suara tokek, yang tak terduga berapa kali jumlah putaran bunyinya. Kadal yang berlalu lalang di dekat jamban membuat saya benar-benar kapok buang air. Bunyi kodok dan jangkrik yang terdengar lebih tegas di luar sana. 

Adegan memaksakan diri untuk menahan buang air kecil setiap malam itu terjadi berkali-kali dan berhari-hari sampai pagi tiba. Sebab, kami menghabiskan kurang lebih satu bulan  di rumah Mbah. Saat itu Presiden Gus Dur meliburkan sekolah sepenuhnya di  bulan ramadan.

Kampung halaman dan yang dirindukan

Masa pulang kampung di era 1999 hingga 2000-an awal itu adalah masa keemasan libur ramadan dan lebaran, khususnya bagi saya. Waktu itu, mudik atau pulang kampung ke rumah Mbah menjadi rutinitas kami sekeluarga. Bagi saya yang masih kecil dulu, lebaran dan idul fitri adalah tentang menginap di rumah Mbah yang bersumur itu. 

Hingga usia remaja, saya selalu berlebaran dan menghabiskan liburan di kampung halaman. Beberapa tahun belakangan kami juga kerap menyempatkan pulang kampung untuk melepas rindu dengan keluarga besar dan menyekar ke makam Mbah.

Awalnya, saya pikir saya dapat melepas kerinduan dengan suasana di sana, namun rupanya bukan sesederhana itu. Bukan karena kandang sapi dan kandang ayam milik Mbah sudah tidak ada. Juga bukan karena sumur, kamar madi, jamban telah dipugar lebih modern. Melainkan karena memang kakek sudah tidak ada. Ia telah  berpulang di tahun 2021 menyusul nenek yang sudah pulang lebih dulu beberapa tahun sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun