Mohon tunggu...
Dr. Akbar Fahmi
Dr. Akbar Fahmi Mohon Tunggu... Administrasi - Akbar Fahmi

Clinical Researcher, Book Author, Creative Scientific Blogger, Healthcare Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sistem Pendidikan Kedokteran Indonesia vs Belanda

12 September 2015   23:31 Diperbarui: 15 September 2015   01:07 7933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Dokter (wikimediacommons)

Satu bulan yang lalu saya kedatangan "teman baru" dari negri Belanda. Namanya Wesley, seorang dokter kandidat PhD di Erasmus University Medical Center. Wesley melakukan penelitian tentang "Faktor Perdarahan pada Pasien Infeksi" di Laboratorium kami. Dia tinggal selama 3 minggu kemarin, dan akan datang kembali 3 bulan kemudian.

 

Dalam pertemuan singkat kami, banyak obrolan seputar kebudayaan Indonesia dan Belanda kami bicarakan. Ditemani secangkir kopi aceh favorit sang Meneer, salah satu obrolan berkesan yang kami bincangkan adalah tentang sistem pendidikan kedokteran di Indonesia dan Belanda. Ternyata Sistem Pendidikan Kedokteran di dua negara yang punya hubungan historis dalam di masa lalu ini tidak sama-sama amat.

 

Bagaimana Sistem Pendidikan Kedokteran di Negri Belanda?

Di Belanda, menjadi seorang dokter adalah panggilan jiwa. Bukan orang yang "Paling Pintar" atau "Paling Kaya" yang bisa diterima sebagai mahasiswa kedokteran di Belanda. Pertanyaan pertama Wesley kepada saya saat kami mendiskusikan masalah ini adalah, "Apakah kamu menjalani tes penerimaan mahasiswa saat masuk kedokteran?"

"Tentu," jawab saya, "Apakah disana nggak?"

"Nggak, kami disana "diundi". Anak-anak yang minat sekolah kedokteran akan didata dan dipilih oleh universitas tanpa tes masuk. Perkiraan yang diterima hanya 50-70% anak yang "beruntung", sisanya akan dimasukkan ke jurusan lain. Anak dengan nilai ujian nasional SMA terbaik tetap punya peluang hampir 100% untuk diterima di fakultas kedokteran. Namun, nilai ujian lebih tinggi belum tentu jaminan diterima di Fakultas Kedokteran, tergantung hasil "undian". Kami semua tidak menjalani tes masuk." jawab Wesley.

"Wow", saya sangat terkejut. Sebuah negara dengan reputasi penelitian klinis medis terbaik kedua di dunia ternyata tidak meyaring mahasiswa kedokterannya dengan tes masuk perguruan tinggi, namun dengan sistem yang sangat manusiawi, "undian".  Sementara di Indonesia seorang anak harus belajar keras, mengorbankan kehidupan sosialnya, untuk meraih nilai terbaik di SBM-PTN dan menyiapkan "uang besar" untuk biaya di Fakultas Kedokteran. Logikanya masuk akal sih, anak yang lebih pintar Matematika dan Fisika belum tentu bisa jadi Dokter yang baik. 

Setelah menempuh pendidikan selama sekitar 6 tahun di Fakultas Kedokteran, para dokter Belanda ini juga akan menjalani program internship, sama seperti dokter di Indonesia. Namun bedanya program internship tidak hanya satu tahun, bisa 3-6 tahun tergantung bidang yang diminati. Nama program internship disana adalah Postgraduate Medical Training.  Setelah mereka menjalani program internship di rumah sakit tertentu dan dalam bidang spesifik (e.g Penyakit Dalam, Bedah, Pediatri dll) dengan bimbingan dokter spesialis senior, mereka akan mendapat kewanangan menangani kasus spesialistik. Sederhanya, selesai internship mereka jadi dokter spsesialis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun