Beberapa kasus pelecehan seksual di antaranya dokter PPDS Anestesi pada penunggu pasien di Bandung, dokter kandungan di Garut, mengguncang publik. Â
Kok bisa... Â tempat yang seharusnya menjadi ruang pengobatan, justru menjadi arena kekerasan?Â
Peristiwa-peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendalam:
- Masihkah rumah sakit menjadi ruang aman bagi pasien dan keluarganya?
- Cukupkah sistem pengawasan untuk mencegah perilaku tidak terpuji tersebut?
- Apakah pendidikan kedokteran sungguh membentuk moral dan kepekaan etis?
- Mampukah profesi ini menjaga marwah dan kepercayaan publik?
Sesungguhnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tidak muncul begitu saja, melainkan lahir dari relasi sosial yang timpang dan struktur kekuasaan yang diam-diam dilembagakan.
Dokter bukan sekadar praktisi, tapi juga simbol otoritas dan keilmuan. Jas putih tak hanya menandai profesi, tapi juga membentuk relasi hierarkis - pasien sering berada dalam posisi pasif: mengikuti, menunggu, menerima iya iya saja, tanpa banyak bertanya.
Michel Foucault mengajarkan bahwa kekuasaan tidak hanya hadir melalui jabatan, tetapi juga melalui diskursus - cara bicara, praktik sosial, dan norma yang menetapkan siapa yang didengar dan siapa yang dibungkam. Dalam sistem medis, kekuasaan ini bisa menyembunyikan perilaku predatoris di balik kepercayaan dan kehormatan profesi.
Memang, tak dapat disangkal, tindakan tersebut kriminal dan menjijikkan! Pelaku pantas dikeluarkan dari profesi dan mendapat sanksi hukum yang adil. Namun, pelaku adalah individu, bukan representasi dari seluruh insan di profesi kesehatan. Masyarakat sebaiknya tidak menggeneralisasi kesalahan beberapa orang sebagai bayangan buruk atas ribuan tenaga medis yang setiap hari bekerja dengan dedikasi, integritas, dan empati untuk menyelamatkan nyawa.
Sama seperti satu orang tua yang lalai, tidak menghapus kemuliaan jutaan orang tua yang berkorban tulus untuk membesarkan anak-anaknya dengan cinta.
Solusi Kolektif dan Sistemik