UKW PWI Sumut (Uji Kompetensi Wartawan) yang digelar PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sumatera Utara, Rabu (5/9/2018) hingga Kamis (6/9/2018) di Medan benar-benar menggelitik hati dan pikiran saya. Seorang wartawan online di Medan yang baru saja ikut UKW PWI mengatakan UKW PWI sebuah garansi wartawan menjadi seorang profesional. Dengan kata lain, seorang wartawan yang sudah mengikuti UKW PWI berarti sudah profesional.
Dia mengutarakan hal itu mengutip kalimat seorang petinggi PWI Sumut saat menutup kegiatan itu di hari terakhir UKW PWI di Medan, Kamis (6/9/2018).
Dalam tulisan ini, saya ingin membahas tentang profesionalisme seorang wartawan. Tentang bagaimana seorang wartawan bekerja secara profesional di lapangan, bagaimana hubungan wartawan dengan narasumber.
Ada yang aneh dalam syarat untuk ikut dalam UKW PWI itu. Salah satu persyaratannya dengan menyerahkan 20 nomor telepon penting narasumber di lapangan.
Nantinya nomor-nomor telepon itu akan dihubungi manakala seorang penguji UKW PWI meminta si wartawan mengadakan wawancara via telepon dan menuliskannya dalam sebuah berita. Konon, nomor telepon para pejabat daerah ini penting, inilah membuktikan wartawan bersangkutan sudah 'profesional' dengan bisa menjaga hubungan baik yang terjalin selama ini.
Sejujurnya ini justru menggelitik hati dan pikiran saya. Faktor kedekatan si wartawan dengan pejabat (narasumber) di lapangan tidak boleh dianggap sebagai sikap profesional, hanya lantaran mampu menjaga hubungan baik dengan para narasumber.
Sebagai alumni media grup Jawa Pos bermarkas di Medan (Sumatera Utara), hampir 9 tahun saya belajar dan mengecap pendidikan di grup media JPNN ini, tak pernah sekalipun saya diajarkan untuk dekat-dekat apalagi sampai kompak dengan pejabat atau narasumber. Yang saya tangkap sejauh ini, agar pemberitaan benar-benar netral, si wartawan dilarang keras dekat-dekat dengan pejabat. Jadikanlah pejabat itu sebatas narasumber.
Tapi mengapa UKW PWI menganggap ini sebuah penilaian baik? Menurut saya, ini salah kaprah!
Logikanya, bagaimana mungkin si wartawan memproduksi sebuah pemberitaan yang 'menggigit' ketika berita itu melibatkan kasus korupsi pejabat bersangkutan yang notabenenya selama ini sudah 'berkawan' dengan si wartawan? Saya yakin, si wartawan akan sulit membuat berita yang 'gereget'. Karena faktor kedekatan dengan pejabat itu, akibatnya tulisan wartawan tak bakal 'pedas' lagi. Bakal ada faktor ketidakjujuran di situ. Makanya UKW PWI Sumut adalah salah kaprah ketika harus menyerahkan 20 nomor telepon orang narasumber/pejabat daerah dan menelepon mereka. Intinya 20 nomor telepon itu tak boleh dijadikan tolok ukur bagi seorang wartawan apakah dia sudah profesional atau tidak.
Pentingkah UKW PWI?
Dalam tulisan ini, saya ingin mempertanyakan seberapa penting Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar PWI. Benarkah UKW itu penting hingga dapat menggaransi wartawan bekerja profesional di lapangan? Sejauh ini sudah ada 9.344 wartawan yang telah lulus UKW. Pertanyaannya, berapa persen diantara mereka yang benar-benar profesional menjalankan tugasnya sebagai kontrol sosial di lapangan?