Padahal, sudah ada salah satu universitas yang berada di kabupaten mereka. Apabila menimbang kondisi keluarganya, Merna bisa memilih untuk berkuliah di kabupatennya.
Namun karena pengaruh relasi kuat dalam benak Merna bahwa dia juga akan mengikuti teman-temannya. Berkuliah di universitas itu.
Maka, Merna mulai menyebar berita bahwa dia akan berkuliah di universitas swasta tersebut tanpa meminta konfirmasi dari orangtuanya.
Persoalannya pada kondisi keluarganya. Tak mampu untuk membiayai tuntutan biaya kuliah dan kos. Karena ini, ada bentrok, dan bahkan Merna sempat menjauh dari rumahnya dan tinggal di rumah sanak keluarganya.
Situasi seperti ini barangkali pernah kita jumpai. Tak sedikit anak yang memilih tempat kuliah karena faktor gengsi atau juga ikut teman.
Gengsi ini dibentuk karena faktor pergaulan atau pun soal cara pandang yang terbangun di mata masyarakat tentang lembaga pendidikan tertentu.
Maka dari itu, anak harus tetap diarahkan dalam pergaulan dengan pikiran-pikiran yang positif. Boleh bergaul dengan siapa saja, tetapi pergaulan itu tak menjebak anak pada pola pandang tertentu.
Misalnya, boleh bergaul dengan orang kaya. Akan tetapi, hal itu tak bisa membentuk karakter anak agar bisa setara dengan kemampuan dari keluarga mereka.
Lalu, cara pandang tentang kualitas sebuah tempat berkuliah. Cara pandang setiap orang tempat berkuliah kerap kali sangat subyektif. Ke mana pun seseorang berkuliah, hasil selalu bergantung pada kerja keras individu.
Tempat bukanlah faktor satu-satunya. Kerja keras individu untuk berkuliah tetap menjadi tolok ukur kesuksesan.
Di tengah pertambahan biaya kuliah, yang barangkali juga dibarengi peningkatan sewa kos, orangtua pun harus putar otak ketika anak memilih kuliah keluar daerah.