Saya adalah seorang anak sulung dari empat bersaudara. Sejauh saya berperan sebagai anak sulung, dua pandangan yang saya rasa agak keliru. Pandangan ini lebih terlahir dari konteks keluarga kami dan juga dari apa yang saya jumpai di beberapa keluarga.
Hal ini juga bukan sebuah pembelaan diri. Diterima atau tidak, itu bergantung pada sudut pandang kita masing-masing.
Pandangan keliru pertama adalah anak sulung harus menjadi contoh terbaik dan tidak boleh salah.
Adik saya tiga orang. Satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Seperti sudah tergariskan dalam pola pikir orangtua kami bahwa cara hidup saya mesti menjadi cerminan yang semestinya bisa dilihat, dicontohi, dan ditiru oleh adik-adik saya. Pendeknya, saya harus menjadi teladan terbaik untuk mereka.
Makanya, saat kami melakukan kesalahan, misalnya saya dan adik laki-laki saya, bukan adik laki-laki saya yang dipersalahkan. Saya yang lebih dipersalahkan.Â
Alasannya, karena saya sebagai kakak sekaligus anak sulung tidak bisa menjadi kakak yang mengarahkan adik saya untuk tidak boleh melakukan kesalahan.Â
Begitu pula, ketika adik-adik saya jatuh dalam kesalahan walaupun saya tidak terlibat dalam kesalahan itu. Bukannya adik-adik saya yang dipersalahkan, malah saya sebagai kakak yang dipersalahkan karena dinilai gagal membimbing adik-adik saya untuk tidak melakukan kesalahan.
Situasi seperti ini ikut membangun mentalitas untuk bertanggung jawab. Anak sulung mempunyai tanggung jawab lebih. Karena ini, saya sering memarahi adik-adik saya agar tidak jatuh dalam kesalahan. Kendati demikian, kemarahan itu malah menghadirkan cekcok dan pertengkaran di antara kami.
Tidak masalah ketika diminta untuk memberikan contoh yang baik untuk adik-adik. Menjadi agak bermasalah ketika menilai bahwa anak sulung tidak boleh melakukan kesalahan. Ini bisa membuat anak sulung tidak bergerak bebas.
Jadinya, lebih bertingkah laku seperti pandangan orangtua daripada mengikuti diri sendiri. Pada saat melakukan kesalahan tertentu, kecenderungannya adalah menyembunyikan diri dan kesalahan itu.
Seyogianya, orangtua harus membuka diri pada kesalahan yang bisa dilakukan oleh anak sulung. Tidak terlalu mengharapkan agar anak sulung bebas dari kesalahan. Malahan, kesalahan anak sulung bisa dijadikan bahan pelajaran agar adik-adik yang lain tidak mengikutinya. Bukannya lebih menghakimi dan cenderung memaksa anak sulung menjadi pribadi yang harus benar dalam kata-kata dan tingkah laku. Â
Pandangan keliru kedua adalah anak sulung harus mejnadi anak yang berhasil dan tidak boleh gagal.
Keberhasilan seorang anak sulung di dunia pendidikan dan dunia kerja dianggap bernilai untuk adik-adik lainnya. Namun, kegagalan seorang anak sulung menjadi tanggapan negatif di mata orangtua. Orangtua bisa saja mengaitkan keberhasilan dan kegagalan itu dengan nasib anak-anak di waktu yang akan datang.