Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Belajar Agama, Bukan Sekadar Dihafal tapi Dihidupi

23 November 2020   19:57 Diperbarui: 24 November 2020   21:23 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelajaran Agama. Sumber foto: Pexels.com

Masih terekam jelas dalam ingatan saya ketika belajar agama di kelas 3 SD. Agama Kristen Katolik. 

Salah satu kebutuhan agar bisa berhasil belajar agama adalah menghafalkan beberapa doa dari sebuah buku. Ini juga menjadi kriteria untuk bisa lolos agar bisa menjalani salah satu upacara di gereja. Kemudian, satu per satu kami, siswa harus menunjukkan kemampuan hafalan kami di depan guru agama. 

Yang mempunyai kemampuan menghafal yang baik tentu tidak bermasalah. Bagi yang tidak, mereka harus bekerja ekstra keras. Biasanya malu kalau gagal karena tidak bisa menghafal doa-doa itu. 

Kebetulan saya gagal di beberapa doa. Guru agama meminta saya untuk kembali di pekan berikutnya guna memperbaiki kesalahan saya. Selama sepekan, saya berusaha untuk menghafal beberapa doa yang belum saya ketahui. Reputasi seolah dipertaruhkan. Kalau gagal lagi, saya bisa menjadi buah bibir, bukan hanya di sekolah tetapi di antara tetangga. 

Usaha saya tidak sia-sia. Saya lolos setelah membuktikan diri bahwa saya bisa menghafal dan melafalkan doa-doa itu di depan guru agama. Ini pun melapangkan saya untuk ikut serta menjalani salah satu upacara penting di gereja.  

Namun, apa yang terjadi setelah beberapa minggu, pekan, dan bahkan tahun. Saya hanya mengingat doa-doa dasar, yang umumnya biasa dipakai di gereja dan dalam keseharian. Selebihnya doa-doa lain sudah menguap dari pikiran bersama waktu. Sudah lupa. Hafalan beberapa tahun silam seolah sia-sia. 

Menghafal doa-doa hanyalah salah satu metode dari pelajaran agama. Bukan standar utama untuk menilai keberhasilan seorang siswa sebagai seorang beragama. 

Tak jarang hal yang sama juga terjadi pada pelajaran-pelajaran lain di sekolah. Tanya jawabnya dipenuhi dengan pilihan ganda dan bernuansa hafalan. Gagal menghafal bisa berujung pada kegagalan dan bahkan cemohan. 

Kegagalan seorang siswa dalam pelajaran agama kadang menjadi bahan cemohon. Toh, pelajaran agama kerap dipandang sebagai pelajaran yang paling gampang. Pasalnya, apa yang terkandung di dalam pelajaran agama adalah bagian dari kehidupan agama harian. Bahkan sebelum masuk sekolah seorang anak sudah diperkenalkan dengan kisah-kisah di dalam Kitab Suci.  

Saat seorang juga mendapat nilai bagus dari pelajaran agama, tidak sedikit orang menganggapnya sebelah mata. Pelajaran agama terbilang gampang. Siapa saja bisa mendapat nilai bagus. Bahkan nilai pelajaran agama dinilai sebagai salah satu nilai yang bisa mengimbangi pelajaran-pelajaran berat di sekolah.

Pelajaran agama bukan soal sulit atau gampangnya. Juga, bukan soal menghafal dan hafalan di depan guru. Pelajaran agama di sekolah menyankut hidup harian seorang siswa sebagai seorang yang beragama. 

Untuk konteks Indonesia, umumnya seorang siswa sejak bangku TKK atau pun SD, bahkan sejak lahir, sudah diikat dengan agama tertentu pada identitas diri. Dengan kata lain, agama orangtua sudah otomatis menjadi agama anak. 

Tak hanya itu, kegiatan keagamaan juga tidak terlepas dari kehidupan sekolah. Ada sekolah yang mengintegrasikan kegiatan keagamaan dengan aktivitas sekolah. Tujuannya agar siswa betul-betul berakar pada kehidupan keagamaan yang mereka miliki.

Dengan itu, pelajaran agama pun sekiranya bukan soal text book, ujian di akhir semester, serta soal hafal dan melafal. Pelajaran agama menyangkut kehidupan setiap siswa. 

Pada saat seorang siswa berhasil menghidupi kehidupan agamanya dengan baik, pada titik itu pula dia bisa dinilai sudah sukses dalam menghidup pelajaran agama di sekolah. 

Sebaliknya pula, ketika seorang siswa mendapat nilai bagus lewat ujian, namun kehidupan agama kurang baik, ini menunjukkan ketimpangan. Ketimpangan antara teori dan praktis. Teori begitu bagus, tetapi praktis begitu lemah. Dengan ini pula, pelajaran agama hanya berupa formalitas untuk mendapatkan nilai baik atau juga sekadar cara untuk memenuhi tuntutan di sekolah. 

Sejatinya, setiap pelajaran di sekolah berbuah lewat kehidupan nyata. Apalagi pelajaran agama. Buah yang sangat diharapkan itu nampak lewat cara hidup seorang siswa, dalam mana dia tahu menghormati agamanya sendiri dan menunjukkan diri sebagai seorang beragama. 

Lebih luas lagi, hal ini menyata lewat upaya menghormati sesama yang berbeda ajaran agama. Kalau hal ini terjadi, dampak pelajaran agama di sekolah sangat luar biasa.  

Metode yang paling ampuh adalah menghidupi apa yang dipelajari di sekolah, termasuk pelajaran agama. Bahan-bahan yang terkandung di dalam pelajaran agama sekiranya menjadi bagian dari cara hidup seorang siswa. 

Dengan itu pula, proses penilaian tidak semata-mata pada apa yang tertulis di kertas dan dilafalkan oleh seorang siswa, tetapi apa yang dihidupi oleh seorang siswa dalam keseharian, baik itu di sekolah maupun di lingkungannya. Apa yang dihidupi lebih dingat, daripada apa yang dihafalkan dan dilafalkan untuk kepentingan nilai di sekolah. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun