Sepuluh tahun ibu telah pergi merantau. Ke luar negeri. Â Â
Waktu itu, usiaku baru berusia 8 tahun. Saat ini, usiaku beranjak ke angka 18 tahun. Bukan lagi seorang gadis kecil. Seorang perempuan.
Ibu merantau karena situasi keluarga. Bukan hanya keluarga kami. Akan tetapi, ini juga menyangkut adik-adiknya.Â
Kedua orang adiknya bisa menyelesaikan bangku kuliah berkat perjuangan ibu di tanah rantau. Bahkan mereka kemudian menyusul ibu. Ke tempat yang sama. Ibu pun pernah berpesan agar kelak aku bisa menyusulnya kalau sudah menyelesaikan kuliahku.Â
Ibu pergi meninggalkan aku dengan dua orang adikku. Aku sendiri perempuan. Dua adikku laki-laki.Â
Lalu, ayah yang menemani kami di rumah. Bagiku, dia bukanlah ayah kandung. Ayah tiri.Â
Ketika aku berada di dalam kandungan, ayahku tidak mau mengakuiku sebagai anaknya. Makanya, sejak aku terlahir, aku tidak mengenal sosok ayah. Hanya sosok kakek yang begitu penyayang. Itu pun hanya sementara waktu. Kakek pergi ke Sang Khalik saat usiaku 5 tahun.
Ibu dan ayah tiriku menikah menikah saat aku masih berusia 7 tahun. Entah bagaimana mereka bertemu, tetapi mereka menikah saat ibu sudah mengandung adikku yang laki-laki. Anak kedua dari ibuku. Â
Praktisnya, saat ibu pergi merantau, ayah yang hanya bekerja sebagai satpam di rumah sakit menjadi ayah sekaligus ibu kami. Sejak bangku SD hingga saat saya sudah duduk di kelas 3 SMA. Apabila ayah mempunyai jam kerja malam, kami pun ditemani oleh adik ibu kami di rumah. Atau kami yang pergi ke rumah nenek. Â
Rumah nenek hanya bersebelahan dengan rumah kami. Kabarnya, tanah di mana rumah kami berdiri merupakan warisan nenek untuk ibu. Maklum, ibu perempuan satu-satunya.Â
Sementara ayah hanyalah perantau di provinsi di mana kami tinggal. Dia berasal dari tempat jauh. Butuh sehari semalam kalau berlayar dengan kapal laut.Â