Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Agar Jokowi Marah Jilid II Tidak Terjadi

6 Juli 2020   14:03 Diperbarui: 8 Juli 2020   06:03 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi). (Sumber foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A via Kompas.com)

Presiden Jokowi marah. Demikian topik yang menghiasi dunia politik tanah air beberapa hari terakhir. Kemarahan itu merangsang ragam komentar dan pandangan. Pelbagai pakar lintas ilmu menelaah kemarahan dari pemimpin nomor satu di Indonesia ini.

Kemarahan seorang presiden berasa spesial. Rasa spesialnya itu menyata lewat pesan reshuffle. Marah karena kinerja beberapa anggota kabinet. Karena ini, Jokowi juga menyinggung perombakan kabinet.  

Reshuffle menjadi isu yang menyakitkan tetapi sedap untuk segelintir orang. Menyakitkan jika reshuffle ini akan mengenai menteri-menteri yang terbilang "OK" dalam pandangan publik. Tetapi, biasanya yang menjadi korban reshuffle adalah mereka yang dinyatakan "gagal" berperforma dalam bidang yang dipimpin.

Saya kira ini normal untuk konteks sebuah organisasi. Konsekuensi tidak tampil prima adalah diganti atau dipindahkan. Untuk apa mempertahankan orang yang berpenampilan minim, sementara rakyat membutuhkan perubahan?

Sebaliknya, isu reshuffle menjadi sedap untuk dipikirkan dan didiskusikan bagi pihak-pihak tertentu. Reshuffle membuka ruang bagi banyak pihak, terlebih khusus partai politik untuk mengekspresikan peran politik. 

Bukan rahasia lagi jika jadi menjadi menteri adalah salah satu arena untuk memainkan peran berpolitik di tanah air. Banyak partai politik lebih gencar dan berusaha untuk mendapatkan jatah ini jika presiden pendukung gol dalam sebuah kontestasi pemilu.

Bahkan pihak yang cenderung menempatkan diri sebagai oposisi melihat kemarahan Jokowi dari dua perspektif berbeda.

Contohnya, Amien Rais. Politikus gaek ini menilai jika kemarahan Jokowi adalah sandiwara politik guna menggenjot kepercayaan rakyat.

Meski mengkritisi seperti itu, Amien Rais juga memberikan kriteria tertentu untuk menteri yang bisa dipilih jika reshuffle terjadi. Mengutip Kompas Com (4/7/2020), Amien Rais mengajukan usulan agar Presiden Jokowi "mempertimbangkan aspek kerakyatan jika akan me-reshuffle kabinet." Entah mengapa kriteria itu yang diberikan, hanya Amien Rais yang tahu motifnya.

Bersamaan dengan usulan ini, nama puteranya, Mumtaz Rais mencuat ke permukaan. Bagaimana pun, sebagai seorang ayah Amien Rais juga berharap agar puteranya itu menjadi bagian dari rencana ini. Reshuffle membuka peluang bagi putranya untuk menunjukkan diri di panggung politik tanah air. 

Langkah ini bisa dikatakan sebagai investasi politik untuk keluarga mereka sendiri di waktu yang akan datang. Akankah Jokowi menjatuhkan pilihannya kepada putera Amin Rais jika reshuffle benar-benar terjadi?

Hemat saya, kalau ini terjadi, terlihat jika Jokowi tetap memimpin karena beban tertentu. Padahal, slogan yang mencuat di awal periode pemerintahannya adalah memimpin tanpa beban. Pasalnya, periode ini adalah terakhir bagi Jokowi di tampuk kursi presiden.

Memimpin tanpa beban ini melingkupi keberanian untuk melepaskan diri dari kontrol kepentingan partai. Toh, kalau terjadi pergantian, menteri-menteri diganti karena performa mereka. Kualitas mereka tidak menjawabi persoalan yang sementara terjadi.

Maka dengan ini, pemerintahan Jokowi perlu mencari orang-orang yang berkualitas. Mencari sosok-sosok yang bisa memberikan solusi. Kualitas bukan sekadar nama besar. Tetapi seseorang yang betul-betul menjawabi kebutuhan dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

Tidak masalah jika dipilih dari partai politik. Asalkan sosok yang diusulkan benar-benar menjawabi tuntutan persoalan yang terjadi.

Persoalannya, jika sosok yang diberikan hanya untuk memenuhi ambisi partai agar mendapat kekuasaan di pemerintahan. Bukan saja pemerintahan Jokowi yang akan tercoreng, tetapi ini juga bisa menjadi batu sandungan bagi rakyat. Dengan ini pula, Jokowi melangkahi pesannya memimpin tanpa beban di periode ke-2 ini.

Hemat saya, reshuffle berdampak jika perubahan kabinet dibarengi dengan pergantian sosok-sosok yang berkualitas. Kemampuan dan keahlian mereka seyogianya menjawabi persoalan yang terjadi.

Siapa saja boleh terpilih, entah kalangan profesional maupun dari partai, tetapi mereka bisa menggenjot performa kabinet. Pendeknya, Jokowi perlu memilih orang-orang yang betul-betul kompeten untuk menjawab persoalan yang sementara terjadi.

Kalau tidak, hal yang sama terjadi: ujung-ujungnya kemarahan yang sama bisa saja terjadi lagi di masa mendatang.

Jadi, agar kemarahan yang sama tidak terjadi, Jokowi perlu berjalan pada pernyataan dulu, yakni memimpin tanpa beban. Memimpin tanpa beban itu menyata dengan mengganti sosok-sosok yang tidak berperforma baik dan memilih sosok-sosok yang berkualitas. Bahkan pilihan itu juga tidak terikat kepentingan politik dan golongan tertentu.

Pada situasi ini pula, rakyat juga membutuhkan orang-orang yang tepat dan bukannya orang-orang yang cenderung lekat kepentingan. Toh, tujuan utama mereka duduk dan menjabat adalah demi kepetingan rakyat pada umumnya.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun