Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kemarahan Jokowi dan Tangisan Risma yang Tidak Boleh Sia-sia

30 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 30 Juni 2020   19:51 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ketika presiden Jokowi mengunjungi Jawa Timur. Sumber foto: Agus Suparto/Fotografer Kepresidenan via Kompas.com

Video yang berisi tentang kemarahan Jokowi menjadi bahan pembicaraan banyak pihak beberapa hari terakhir. Ini menjadi bahan pembicaraan bukan karena faktor kemarahannya semata, tetapi karena status Jokowi. Presiden Republik Indonesia.

Selain itu, alasan di balik kemarahan Jokowi juga menjadi perhatian publik. Kabarnya, kemarahan itu terlahir karena performa beberapa pejabat publik yang tidak optimal selama krisis pandemi korona.

Barangkali kalau orang biasa yang marah, kemarahannya tidak terlalu dipedulikan. Bahkan hal itu dimaklumi sebagai bagian atau sisi kemanusiaannya. Tetapi karena publik figur yang mengekspresikan kemarahan di depan umum, banyak orang bereaksi. Reaksinya pun berbeda-beda bergantung pada pemahaman pada persoalan dan realitas yang terjadi.

Saya sendiri melihat kemarahan itu dari sisi kemanusiaan Jokowi sendiri dan statusnya sebagai pemimpin. Sebagai seorang manusia, ada batas kesabaran. Kesabaran itu mencapai akhir batasnya ketika realitas tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan dan direncanakan sebelumnya.

Pada sisi lain, kemarahan seorang pemimpin juga menunjukkan sisi ketegasannya. Walau demikian, ketegasan harus diwujudnyatakan lewat kemarahan. Hanya saja, kemarahan sebagaian kecil dari aspek dalam mengekspresikan ketegasan seorang pemimpin.

Bagaimana pun, pemimpin tidak boleh membiarkan ketimpangan dalam sistem. Pada saat ketimpangan terjadi dan tetap terjadi walaupun sudah diingatkan dan dikoreksi, seorang pemimpin bisa hadir dan bereaksi. Reaksi itu bisa saja marah.  

Sah-sah saja seorang pemimpin marah, asalkan kemarahan itu berada pada konteks yang etis. Dalam arti, kemarahan itu mendorong orang untuk bisa berubah dan bukannya merendahkan pribadi orang tersebut. Dengan kata lain, kemarahan itu menjadi motor untuk merangsang orang untuk bergerak cepat dan sesuai dengan rencana.

Saya pernah dimarahi oleh seorang guru. Alasannya, keteledoran saya dalam menjalankan instruksi yang diberikannya. Namun, setelah memarahi saya karena keteledoran saya, beliau mengatakan jika apa yang terjadi dinilai sebagai pelajaran berharga untuk tidak melakukan hal yang sama.

Seyogianya kemarahan Jokowi juga menjadi pelajaran bagi yang menjadi sebab dari kemarahan itu sendiri. Bukannya melihat kemarahan itu semata-mata dari sisi negatif. Pelajaran yang paling penting adalah mengubah cara yang salah agar apa yang diharapkan bersama bisa berjalan sesuai.

Di balik kemarahan Jokowi, kita juga dihadapkan dengan Risma yang menangis. Seperti ungkapan kemarahan, menangis juga ekspresi kemanusiaan. Sebabnya juga berbeda-beda. Namun, menangis menjadi heboh jika pelakunya itu seorang sosok publik seperti seorang Risma, Walikota Surabaya.

Dari sisi manusiawi, menangis itu bisa dimaklumi. Siapa pun sulit menghindari air mata saat berhadapan dengan situasi tertentu. Melansir berita dari Kompas com (29/6/2020), "Risma menangis sambil bersujud di hadapan dokter, memohon tidak disalahkan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun