Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perayaan Nikah Bukanlah Puncak tetapi Awal Menghadapi Perubahan Hidup

22 November 2019   07:13 Diperbarui: 22 November 2019   07:14 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto BBC News

Biasanya sebelum kita memasuki dunia kehidupan baru, seperti pekerjaan, kita akan mencari informasi tentang kehidupan itu. Informasi itu menjadi bekal bagi kita agar kita tidak kaget. Bekal itu pun  menjadi persiapan saat berhadapan dengan hal-hal baru.

Menikah juga merupakan titik tolak untuk memasuki dunia baru. Dunia baru itu adalah keluarga yang dibarengi dengan peran-peran baru. Memasuki dunia keluarga juga mesti dibekali oleh informasi-informasi tentang kehidupan berkeluarga.

Salah satu bekal bagi di benak mereka yang mau menikah adalah tentang pelbagai kemungkinan yang akan terjadi setelah menikah atau dalam kehidupan berkeluarga.

Kemungkinan itu bisa berupa situasi rumah tangga yang diwarnai oleh tantangan dan persoalan. Kemungkinan itu juga bisa berupa situasi batas yang membutuhkan hati dan pikiran jernih untuk mengambil keputasan di tengah situasi seperti itu.

Kemungkinan lain adalah perubahan sikap dan tingkah laku pasangan  setelah menikah. Karena itu, persiapan sebelum menikah tidak boleh dipandag sebelah mata.

Prinsipnya, perayaan pernikahan bukanlah akhir atau puncak dari ungkapan perasaan dari kedua belah pihak. Malahan momen itu menjadi awal dan titik tolak untuk melakonkan peran baru sebagai suami dan istri. Kalau sudah memiliki anak, peran itu pun melebar ke status sebagai orangtua (ayah dan ibu).

Namun di balik proses transisi itu, pelbagai macam situasi ikut mempengaruhi. Kalau di awal-awal pernikahan, mungkin saja situasi romantisme sewaktu masa pacaran masih hidup. Tetapi hal itu bisa saja berubah dan itu bisa dikarenakan oleh situasi tertentu.

Misalnya, situasi romantisme itu berubah karena tuntutan kesibukan dari salah satu pasangan. Karena dia begitu fokus dan memberikan waktu untuk kesibukan hariannya itu, dia melupakan perannya di dalam keluarga.

Hal ini bisa menjadikan salah satu pihak merasa kehilangan. Betapa tidak, dari sering diperhatikan, kemudian relasi menjadi hambar dan membeku. Bahkan tidak jarang terjadi relasi pun hanya sebatas fungsi dari peran di dalam keluarga tanpa melibatkan perasaan seperti saat sebelum menikah dan awal pernikahan.

Situasi seperti ini mesti diantisipasi sejak saat sebelum menikah. Pada titik ini, persiapan sebelum menikah pun menjadi penting. Jadi pernikahan bukan saja perihal persiapan material, tetapi persiapan psikologis dan spiritual dari kedua belah pihak.

Persiapan psikologis itu melibatkan usaha untuk menyadarkan kedua belah pihak pada peran yang mereka akan ambil saat setelah menikah. Perubahan peran bisa saja menimbulkan aneka perasaan.

Kalau tidak siap pada perubahan peran itu, bisa saja ada rasa takut dan menyesal atas pilihan hidup yang telah dibuat. Tetapi kalau ada persiapan psikologis dengan perubahan itu, pastinya mereka akan menerima perubahan peran itu dengan tangan terbuka dan bahkan dengan sukacita sebagai sebuah keluarga.

Jadi persiapan psikologis sangatlah penting bagi yang mau menikah agar mereka tidak "terkejut" saat melangsungkan kehidupan berumah tangga. Persiapan ini juga bisa mengarahkan pasangan untuk mengolah dan mengatur peran mereka di dalam keluarga pada rentang masa pernikahan mereka. Jadinya, pernikahan tetap awet hingga akhir hayat kedua belah pihak.

Sementara persiapan spiritual ini bisa melibatkan upaya institusi agama untuk menguatkan keputusan dan janji dari kedua belah pihak.  Ini juga bergantung pada tanggapan dan keterlibatan kedua belah pihak pada kehidupan spiritual mereka.

Ajaran agama tidak boleh dianggap sepele. Ajaran agama bisa memberikan nilai tambah dan bahkan menjadi sumbangan besar bagi pasangan yang mau menikah.

Misalnya, dalam agama Katolik. Gereja berusaha meyakinkan kedua pasangan kalau janji yang mereka ucapkan tidak boleh diceraikan hingga akhir hayat mereka.

Lantas, bagaimana mereka bisa setia berpegang pada janji tersebut untuk seumur hidup?

Geraja akan mengarahkan kedua pasangan bagaimana untuk menghidupi pernikahan mereka, perubahan peran yang akan mereka hadapi, persoalan dan tantangan yang bisa hadir dalam kehidupan berkeluarga dan tanggung jawab mereka di dalam keluarga.

Semua arahan ini dihubungkan dengan ajaran-ajaran gereja sehingga mempunyai dasar rohani bagi kehidupan berkeluarga.

Tidak hanya itu, bahkan gereja juga berusaha terus mendampingi setiap pasangan yang sudah menikah dengan pelbagai program. Tujuannya agar kehidupan berkeluarga menjadi nilai penting bagi kehidupan rohani.

Persiapan bagi pasangan yang mau menikah merupakan salah satu prasyarat yang penting. Saya yakin setiap institusi agama mempunyai pendekatan dan metode dalam mengarahkan pasangan yang belum menikah. Bahkan tidak sedikit lembaga non-agama juga hadir dan berusaha mendampingi setiap pasangan yang mau dan sudah menikah.

Selain itu, bertanya dan berkonsultasi kepada mereka yang sudah menikah juga sangatlah penting. Pengalaman keluarga lain selalu mempunyai nilai dan makna yang bisa dipelajari. Lebih baik bertanya daripada tersesat di jalan.

Pernikahan bukanlah puncak dari sebuah relasi. Tetapi hal itu merupakan awal untuk memasuki dunia baru, yakni kehidupan berkeluarga. Karena itu, setiap pasangan mesti mempersiapkan diri dalam memasuki dunia baru itu agar sesuatu yang menyakitkan hati tidak terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun