Mohon tunggu...
Dora Sembada
Dora Sembada Mohon Tunggu... -

sembada lan ora dora

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Benar Kata Effendi Simbolon, Jokowi Tak Suka Baca

7 April 2015   00:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:27 1712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14283413961693922245

Effendi Simbolon (ES) adalah salah satu kader PDIP yang selalu bersuara keras mengenai Jokowi. Banyak kritik-kritik yang disampaikannya terkait dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi JK. Belakangan, dia malah menyatakan, bahwa Jokowi sekedar memanfaatkan PDIP sebagai tunggangan untuk menuju ke istana. Hal ini disampaikannya, terkait dengan berbagai kebijakan yang tidak mencerminkan isi dari Trisakti dan Nawacita yang mencerminkan nafas PDIP sebagai partai wong cilik. "Saya sudah lama sadar Jokowi bukan PDIP," katanya.

Salah satu kritik yang pernah disampaikannya, adalah terkait dengan ketidaksukaan Jokowi untuk membaca buku. "Kalau dikasih buku, paling dibaca judulnya saja," katanya. Kalau benar demikian, hal ini cukup memprihatinkan, karena mencerminkan kemalasan seseorang untuk berpikir konseptual, belajar terus menerus dan teliti. Untuk seorang anak yang masih sekolah, tentu ada konsekuensi dari melakukan sikap terpuji tersebut, misalnya menjadi pintar dan juara kelas. Nah, untuk kasus seorang presiden yang bukan anak-anak lagi, apa konsekuensinya bila tidak melakukan kebiasaan baik tersebut? Tentu tidak sesederhana jawaban: menjadi bodoh dan ranking terakhir di kelas plus mendapat hukuman guru untuk berdiri di depan kelas.

Konsekuensi dari sikap yang cenderung meremehkan dan menggampangkan permasalahan tersebut cukup pelik, karena terkait dengan aturan tata negara, kebijakan penganggaran, rasa keadilan dan kepedulian negara pada warganya. Hal paling mudah dan hangat sebagai contoh tentu dapat dilihat dari kasus Perpres mengenai tunjangan mobil pejabat yang ramai dibicarakan belakangan ini. Dengan alasan ada lembaga yang menscreening sebelum diajukan, Jokowi menyatakan bahwa dirinya tidak mungkin meneliti semua dokumen yang diajukan kepadanya, bahkan menyalahkan Kemenkeu mengenai lolosnya dokumen ini. Perilaku ini persis sama dengan meme yang jauh hari sudah beredar mengenai kebiasaan presiden ini untuk menyalahkan orang lain, seperti dapat disimak dalam gambar berikut:

[caption id="attachment_408173" align="aligncenter" width="300" caption="Salahkan siapa lagi yaaa... :) "][/caption]

Kacaunya lagi, seolah terjadi lempar tanggung jawab diantara pejabat, yang menyatakan tidak tahu menahu mengenai keluarnya Perpres tersebut, sebagaimana dokumentasi berikut:

1. Wapres tidak tahu, sumber Antara

2. Kemenkeu tidak tahu, sumber: Metrotvnews

Belakangan, setelah keriuhan muncul, khas pemerintahan Jokowi yang selalu riuh rendah oleh ketidakjelasan ini, barulah ada lembaga yang mengaku khilaf, karena tidak memberi pengertian kepada Jokowi mengenai substansi yang katanya "tidak tepat dilaksanakan terkait dengan dinamika perekonomian terkini". Ungkapan itu diucapkan oleh Mensekkab Andi Widjoyanto, sebagaimana dapat disimak dalam berita berikut. Sekilas, ungkapan tersebut cukup menyejukkan, karena menunjukkan bahwa pemerintah peduli pada kondisi masyarakat saat ini, namun di sisi lain sebenarnya juga menunjukkan pengakuan, bahwa kondisi perekonomian masyarakat bertambah susah dengan berbagai kebijakan pemerintahan sekarang yang sepertinya hobi menaikkan segala hal, kecuali harga dirinya sendiri. Di sisi lain, timbul pertanyaan sebegitu rendahkah presiden kita sehingga segala sesuatu harus dibriefing dan dikasih tahu untuk dapat mengerti?

Belakangan, tersiar kabar bahwa Perpres itu akhirnya dicabut, hanya sekitar setengah bulan setelah diundangkan (lihat sumber berita ini dan ini). Sungguh, sebuah praktik kenegaraan yang compang camping dan tidak bermartabat. Seperti kata orang Jawa bilang, ajining diri iku saka lathi, yang artinya harga diri seseorang itu berasal dari kata-katanya. Kalau kata-katanya tidak dapat dipegang, berubah-ubah dari waktu ke waktu, belum lagi banyak janji yang tidak ditepati, bagaimana seseorang akan memiliki harga diri. Lebih parah lagi, kalau orang seperti itu diserahi tugas untuk mengelola sebuah negara, bagaimana negara itu akan memiliki harga di mata negara lain?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun