Bagir Manan dalam bukunya Teori dan Politik Konstitusi mengatakan bahwa jabatan merupakan lingkungan kerja tetap yang berisi fungsi-fungsi tertentu yang secara keseluruhan akan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu organisasi. Kumpulan atau keseluruhan jabatan inilah yang mewujudkan suatu organisasi. Dengan perkataan lain organisasi merupakan kumpulan jabatan atau lingkungan kerja tetap dengan berbagai fungsi. Keseluruhan fungsi dari semua jabatan tersebutlah yang mencerminkan tujuan organisasi.
Jabatan beserta fungsi-fungsi yang melekat atau dilekatkan padanya bersifat abstrak dan statis. Agar jabatan beserta fungsi-fungsi tersebut menjadi konkret dan bergerak mencapai sasaran atau tujuan harus ada pemangku jabatan, yaitu para pejabat, sebagai orang perorangan (natuurlijkpersoon) yang duduk atau didudukkan dalam suatu jabatan dengan tugas dan wewenang (taak en bevoegheid) untuk dapat merealisasikan berbagai fungsi jabatan tertentu. Agar tugas dan wewenang pejabat dapat dilaksanakan dalam suatu tindakan konkret dan dapat dipertanggungjawabkan, kepada pejabat dibekali hak dan kewajiban (recht and plitch) tertentu. Antara tugas-wewenang di satu pihak dan hak-kewajiban di pihak lain mempunyai hubungan yang bersifat fungsional satu sama lain. Penentuan tugas dan wewenang akan menjadi pengukur apakah hak dan kewajiban dijalankan sebagaimana mestinya atau telah terjadi tindakan melampaui wewenang (detournement de pouvoir), atau telah terjadi penyalahgunaan wewenang (misbruik van recht). Sebaliknya, hak dan kewajiban memungkinkan pejabat atau pemangku jabatan melakukan tindakan-tindakan, baik tindakan hukum atau tindakan konkret tertentu (recht-en feitelijke handelingen). Tanpa hak dan kewajiban, segala tugas dan wewenang tidak dapat diwujudkan secara konkret (dalam bentuk tindakan-tindakan). Dan segala sesuatu yang tidak diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan konkret, tidak akan dapat dipertanggungjawabkan atau dimintakan pertanggungjawaban.
Dengan demikian, untuk memungkinkan fungsi-fungsi yang melekat atau dilekatkan pada jabatan dapat terlaksana, harus ada pemangku jabatan atau pejabat yang menjalnkan fungsi-fungsi tersebut. Hal ini membawa konsekuensi, selain ada pemangku jabatan harus ada pranata pengisian jabatan. Dilihat dalam sudut pandang sistem pengisian jabatan, setidaknya ada dua aspek penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, pengisian tersebut memerlukan atau tidak memerlukan partisipasi atau dukungan dari rakyat (publik). Kedua, pengisian tersebut harus dilaksanakan secara kolegial atau oleh perorangan tertentu. Perbedaan ini penting, bukan hanya berkaitan dengan tata cara (prosedur), tetapi berkaitan dengan pertanggungjawaban dan pengawasan serta kendali terhadap pemangku jabatan atau pejabat tertentu.
Pada negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaad) tidak ada jabatan yang atau pemangku yang tidak bertanggungjawab. Tiap jabatan yang secara langsung dipertanggungjawabkan kepada publik semestinya berada di bawah pengawasan langsung dari publik, pengisiannya senantiasa memerlukan keikutsertaan atau pengukuhan publik. Sebaliknya, jabatan-jabatan yang tidak memerlukan pertanggungjawaban secara langsung dan juga tidak memerlukan pengawasan serta kendali langsung oleh publik dapat diisi tanpa partisipasi atau dukungan langsung dari publik. Berdasarkan kriteria itu, pengisian jabatan dapat dibedakan :
1. Pengisian jabatan dengan pemilihan (election);
2. Pengisian jabatan dengan pengangkatan (appointment);
3. Pengisian jabatan yang sekaligus mengandung pengangkatan dan pemilihan (yang berfungsi sebagai pernyataan dukungan).
Sumber :
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cet.kedua, Yogyakarta : FH UII Press, 2004.