Mohon tunggu...
Agung Trianto
Agung Trianto Mohon Tunggu... -

Sehari-harinya berprofesi sebagai tukang jepret dan tukang ketik di sebuah majalah remaja lokal dari kota Bandung. Seorang bujangan kelas cheap bastard yang mensyukuri hidup.. also find me at http://dontorro.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tanpa Film Hollywood, Saya Tak Akan Datang Ke Bioskop

22 Februari 2011   19:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:22 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
I Dont Think Im Gonna Enjoy The Show

Berita buruk bagi para penikmat film datang di pertengahan Februari ini. Ditjen Bea Cukai memberlakukan aturan baru terkait dengan peredaran film asing di Indonesia. Aturan “Bea Masuk Atas Hak Distribusi” yang berlaku sejak Januari 2011 ini membuat asosiasi pengimpor film berhenti memasukkan film-film asing, terutama Hollywood. Dan sekarang, kemungkinan besar hanya judul-judul film lokal yang ditayangkan di bioskop. [caption id="" align="aligncenter" width="493" caption="I Don"][/caption] Di bawah ini adalah beberapa akibat langsung dari dicabutnya hak distribusi film impor untuk Indonesia yang saya kutip dari tulisan Noorca Massardi untuk Kompas. Noorca adalah juru bicara 21 Cineplex Grup, jaringan bioskop terbesar di Indonesia.

  1. Ditjen Bea Cukai/Ditjen Pajak/Pemda/Pemkot/Pemkab AKAN KEHILANGAN RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN dari film impor sebesar 23,75% atas bea masuk barang, 15% Pph hasil ekploitasi film impor, dan Pemda/Pemkot/Pemkab akan kehilangan 10-15% pajak tontonan sebagai pendapatan asli daerah!
  2. Bioskop 21 Cinepleks dengan sekitar 500 layarnya, sebagai pihak yang diberi hak untuk menayangkan film impor akan kehilangan pasokan ratusan judul film setiap tahun, sementara film nasional selama baru mampu berproduksi 50-60 judul/tahun.
  3. Dengan akan merosotnya jumlah penonton film (impor) ke bioskop, maka eksistensi industri bioskop di indonesia akan terancam.
  4. Nasib 10 ribu karyawan 21 Cinepleks dan keluarganya, akan terancam
  5. Penonton film impor di indonesia akan kehilangan hak akan informasi yang dilindungi UUD.
  6. Industri food & beverage (cafe-resto) akan terkena dampak ikutannya, juga pengunjung ke mall/pusat perbelanjaan, parkir, dll.
  7. Industri perfilman nasional harus meningkatkan jumlah produksi dan jumlah kopi filmnya bila ingin “memanfaatkan” peluang itu, yang berarti harus meningkatkan permodalannya sementara kecenderungan penonton film indonesia terus merosot.

Hanung Bramantyo, sutradara yang meroket lewat film Ayat-Ayat Cinta punya pendapat lain lagi. “Yang saya harapkan dari kondisi ini adalah membuat pengusaha bioskop, produser, filmmaker bersinergi untuk membuat film nasional jadi lebih baik,” tulis  Hanung di akun Twitter-nya. Sedikit muluk, memang. Apalagi mengingat industri perfilman kita masih didominasi para produser oportunis dan sutradara yang hanya mengikuti keinginan produser, seperti kerbau dengan gembalanya. Sejauh ini, film Indonesia yang berkualitas -menurut selera saya- masih bisa dihitung dengan jari. Jangan dulu bicara teknologi CGI atau special effect lainnya yang dipakai oleh film Hollywood. Untuk membuat jalan cerita yang berkualitas pun, industri film kita masih kesulitan. Alasannya klise, yaitu takut filmnya tidak laku lalu mengikuti keinginan pasar. Keinginan pasar yang seperti apa? [caption id="" align="alignleft" width="375" caption="Poster Pocong Ngesot, source:http://4.bp.blogspot.com/"]

Poster Pocong Ngesot, source:http://4.bp.blogspot.com/
Poster Pocong Ngesot, source:http://4.bp.blogspot.com/
[/caption] Dari judul film pun, kebanyakan film kita sudah terlihat tolol bagi saya. Sebut saja “Arwah Goyang Karawang”, “Jenglot Pantai Selatan”, “Pocong Ngesot” dan lain-lain. Dari judulnya pun sudah tolol, bagaimana dengan jalan ceritanya? Akhirnya yang dijual adalah deretan paha dan payudara mulus, seperti milik Julia Perez atau Dewi Persik. Kalau hanya untuk melihat pemandangan seperti itu, saya lebih baik sekalian saja membuka situs porno daripada harus membayar tiket bioskop. Sejauh ini,  mayoritas film nasional yang beredar masih berkutat di tema yang sama: Komedi seks, film setan, dan drama cinta remaja. Konflik yang diangkat tidak jauh-jauh dari cinta segitiga, perceraian atau kehamilan di luar nikah. Setan yang dikontrak untuk menjadi pemain pun tidak jauh dari suster ngesot, pocong atau kuntilanak. Jalan ceritanya pun seringkali tidak masuk akal. Kondisi seperti inilah yang menurut Hanung harus diubah agar menjadi lebih baik. Tapi, tampaknya wacana ini masih terlalu muluk. Dalam hal ini, entah siapa yang salah. Saya sendiri tidak punya kapasitas yang cukup kredibel untuk menentukan. Tapi, saya pribadi bisa mengatakan bahwa saya tidak akan pergi ke bioskop jika tidak ada film Hollywood.  Tentunya saya tidak bermaksud merendahkan film lokal, karena kualitasnya sejauh ini di mata saya memang masih rendah. Saya tidak sedang bicara tentang nasionalisme. Saya tidak sedang bicara tentang mendukung produk lokal. Ini juga bukan tentang uang. Ini, adalah masalah KUALITAS. Entah kapan ucapan Hanung di atas bisa menjadi kenyataan. Sebagai pecinta film, saya hanya bisa berharap. Tapi, untuk sekarang, dengan berat hati saya harus mengucapkan: Selamat tinggal, bioskop…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun