Mohon tunggu...
Donny Adi Wiguna ST MA CFP
Donny Adi Wiguna ST MA CFP Mohon Tunggu... Konsultan - CERTIFIED FINANCIAL PLANNER, Theolog, IT Consultant, Photographer, dan Guru bikin Kue dan Roti

Konsultan Perencana Keuangan di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Surat Untuk Pak Jokowi dan Mencerdaskan Bangsa

13 Agustus 2014   18:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:39 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Selamat Pagi, Bapak Joko Widodo,

Sebentar lagi, kami bisa menyebut Bapak sebagai Presiden. Rasanya hampir tak sabar menunggu, Presiden yang sungguh amanah terhadap konstitusi UUD '45. Amanat dalam Pembukaan UUD '45 adalah "Mercerdaskan kehidupan bangsa." Pertanyaan: apa artinya mencerdaskan? Apa yang disebut dengan 'cerdas' itu?

Ada yang bilang, cerdas berbeda dengan pintar. Amanat itu tidak bilang "Menjadikan bangsa yang pintar", bukan? Lalu, apa bedanya antara cerdas dan pintar?

Kalau anak sekolah mendapat nilai bagus dalam pelajaran-pelajarannya maka kita menyebut ia sebagai anak yang pintar. Kalau ia mampu menjelaskan berbagai hal yang rumit, kita memanggilnya si pintar. Apakah serta merta dia juga jadi anak yang cerdas? Mungkin tidak, karena dalam pengalaman pilpres dan saat ini di sidang MK, rasanya ada orang pintar dilihat dari gelar akademik, tapi nampak tidak cerdas. Bolehkah saya katakan, ketidak-cerdasan inilah yang membuat gangguan yang sama sekali tidak perlu terjadi?

Cerdas berkaitan dengan kehidupan. Di katakan, "Mencerdaskan KEHIDUPAN bangsa", artinya ada suatu hal yang nyata, yang aktual, yang dihadapi secara cerdas. Ilmu dan pengetahuan mungkin tidak lagi aktual, tidak berkorelasi dengan kehidupan saat ini. Ada orang yang dahulu pintar, tapi sekarang sudah ketinggalan jaman. Dahulu pintar, sekarang tidak lagi. Dahulu ada "Buku Pintar" karena isinya, tapi sekarang tidak lagi istimewa. Itulah pintar: bisa ketinggalan jaman.

Namun yang cerdas tetap cerdas. Dahulu cerdas, sekarang juga cerdas walaupun jaman telah berubah. Cerdas berkaitan dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, untuk membuat solusi, untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Pintar adalah memiliki potensi dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan. Cerdas adalah mampu mewujudkan potensi tersebut dalam kehidupan, mampu mengaktualisasikan pengetahuan dalam keputusan dan tindakan nyata.

Orang pintar mungkin akan mengejar hasratnya, passion-nya, impiannya, tetapi orang cerdas akan memandang realita, mencari dan menemukan cara yang benar, yang lebih baik bagi semua orang. Orang cerdas mungkin tidak mengungkapkan cita-citanya yang setinggi langit, namun dia akan menjelaskan jalan yang lebih efektif, lebih efisien, lebih berdaya guna. Orang yang pintar mungkin akan menutup mata supaya bisa memandang mimpinya, tapi orang cerdas akan membuka mata supaya bisa melihat jalan.

Saya menulis begini karena merasa sumpek dengan banyaknya orang 'pintar' dan sarjana hukum yang masih menutup mata dan ngotot di sidang MK. Juga banyak orang pintar ekonomi yang menutup mata dan ikut money game semacam MMM. Juga banyak orang pintar agama yang menutup mata dan ikut gerakan ISIS. Juga banyak orang pintar dalam banyak bidang yang sama sekali tidak bertindak cerdas di bidangnya. Indonesia ini rasanya tidak kekurangan orang pintar, tetapi kita bisa menemukan sarjana S2 keluaran UI yang menuntut agar hukuman mati dilegalkan. Dia mau mati saja, bikin kehebohan seperti itu. Sama sekali tidak cerdas.

Pak, Amanat bagi Bapak adalah Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Tapi rasanya saat ini yang didorong oleh Diknas adalah meningkatkan kepintaran akademik, lantas anak-anak Indonesia disuruh bertanding adu pintar dengan anak-anak Singapura, anak-anak Korea Selatan, atau anak-anak Hong Kong. Maka, Ujian Nasional kemarin diisi dengan soal-soal yang disadur dari bahan mancanegara dan membuat frustasi anak-anak kita. Apakah ini mencerdaskan bangsa kita?

Bangsa Indonesia punya lautan yang luas, tapi berapa banyak anak-anak kita belajar tentang ilmu maritim? Bangsa Indonesia mempunyai lahan pertanian yang besar, tapi berapa banyak anak-anak kita belajar tentang bercocok tanam? Bangsa Indonesia mempunyai gunung banyak sekali, bahan tambang luar biasa, tapi berapa banyak anak-anak kita belajar tentang pertambangan? Anak-anak kita lebih terpesona untuk menjadi insinyur teknik, menjadi dokter, menjadi arsitek, atau menjadi apa saja yang nantinya akan bekerja di kota besar, di metropolitan. Anak-anak kita pintar, tapi tidak cerdas menangani kekayaan Indonesia. Karena itu, bangsa kita perlu tenaga bangsa asing untuk eksplorasi pertambangan, untuk membangun industri perikanan, untuk membangun industri agraria yang besar.

Saya tahu Pak, saya sendiri dahulu pernah ditugaskan bekerja di kota Medan dan menemukan ahli perkebunan yang dibayar mahal adalah orang asing. Orang asing ada di mana-mana: di bidang pembuatan benang polyester untuk tekstil, di bidang pertambangan dan eksplorasi, di bidang teknologi informasi. Mereka cerdas, mereka bisa menemukan akar masalah dan solusinya. Orang Indonesia hanya pintar, tetapi masih kalah dalam menghasilkan karena orang pintar yang bermimpi ini terlalu banyak menuntut kondisi ideal dan 'seharusnya begini' sehingga mereka tidak berdaya ketika situasinya tidak mendukung. Dalam hal ini saya harus acung jempol kepada orang-orang asing. Tetapi saya sedih karena bangsa saya belum cukup cerdas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun