Mohon tunggu...
Donny Adi Wiguna ST MA CFP
Donny Adi Wiguna ST MA CFP Mohon Tunggu... Konsultan - CERTIFIED FINANCIAL PLANNER, Theolog, IT Consultant, Photographer, dan Guru bikin Kue dan Roti

Konsultan Perencana Keuangan di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ketika Nilai Rupiah Jatuh

15 Juli 2022   08:30 Diperbarui: 15 Juli 2022   08:33 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

KINI NILAI TUKAR RUPIAH TELAH TURUN MELEWATI Rp 15.000 per USD. Kita mulai mengkhawatirkan soal devaluasi yang bermakna jelek bagi kelanjutan ekonomi yang bergerak berdasarkan impor. Bagaimana kalau butuh barang impor, sekarang segala-gala jadi lebih mahal, bukan? Lantas, ada juga tokoh agama yang mulai bicara betapa bahaya mengancam Indonesia di bulan Agustus mendatang.

Selain soal nilai tukar, juga ada masalah soal tingkat suku bunga. Bank-bank sentral di sekitar Indonesia:  Singapura, Filipina, Korea Selatan, mulai bahas soal peningkatan suku bunga. Penyebabnya adalah kenaikan suku bunga oleh The Fed, yang dilakukan untuk meredam inflasi -- ini sudah pernah saya tulis sebelumnya -- dan program Quantitative Tightening. Langkah The Fed membuat USD menjadi menarik, lantas menyedot dana dari para investor dari negara-negara di Asia mengalir kembali ke Amerika Serikat.

Yang mungkin belum banyak disadari adalah, ketika The Fed tidak lagi membeli aset melainkan melepas aset, nilai aset turun. Begitulah cara "membakar uang" menghilangkan nilai yang sebelumnya diciptakan lewat Quantitative Easing. Saat harga aset jatuh, dana dari investor asing masuk. Harapannya: beli harga aset murah, nanti ambil untung ketika nilai aset meningkat kembali. Buy low sell high. Begitu kan?

Itu hanya terjadi jika produktivitas kembali meningkat. Tetapi Covid dan kondisi ekonomi sebelumnya telah menghilangkan banyak kemampuan produktif dari hilangnya tenaga kerja DAN hambatan rantai pasokan (supply chain) yang dibutuhkan. Sisi pasokan ini tidak dapat diatasi dengan kebijakan moneter seperti peningkatan suku bunga. Alhasil, produktivitas tidak terjadi, peningkatan nilai juga tidak terjadi. Apa yang akan terjadi dengan investasi yang masuk ke Amerika?

Mungkin mereka akan terkejut melihat Yield dari obiligasi yang dikeluarkan malah terus meningkat -- menunjukkan bagaimana obligasi alias surat hutang yang dikeluarkan semakin menurun nilainya. Oh well.... Ini belum terjadi sekarang, kita lihat bagaimana pergerakan yang terjadi dalam 6 bulan ke depan.

Yang jelas sekarang dana mengarah ke Amerika Serikat, Rupiah terdevaluasi, dan banyak juga yang khawatir soal inflasi di dalam negeri. Kuatirnya terjadi stagflasi -- stagnasi inflasi -- di mana produktivitas stagnan namun harga-harga terus bergerak naik. Menyeramkan, bukan?

Tunggu dulu, kalau bicara apa yang jelas, kita juga harus tahu bahwa sudah lebih dari setahun ini posisi neraca perdagangan Indonesia adalah SURPLUS. Sebagai penghasil komoditi, Indonesia menikmati peningkatan ekspor dengan terjadinya devaluasi. Indonesia perlahan-lahan menekan defisit anggaran, turun dari 4,85% ke 4,5% -- terus menuju kisaran 3% seperti sebelum Pandemi. Bagaimana ceritanya negara ini mengalami stagflasi?

Yang paling utama adalah mempertahankan produktivitas rakyat, dan lebih dari 50% penggeraknya adalah UMKM, bukan penanaman modal asing. UMKM juga mampu menyerap tenaga kerja dengan cepat dan tidak bertele-tele, karena tidak perlu ribet mengikuti UU Tenaga Kerja yang sudah lama perlu revisi itu. UMKM tidak dibebani dengan keharusan mengikuti struktur upah regional yang sekarang jelas menjadi sangat kontra-produktif dengan kinerja perusahaan.

Pukulan yang lebih nyata adalah dari bidang startup yang semula dianggap sangat menjanjikan, tetapi kenyataannya terbenam dengan cepat dan melakukan PHK terhadap puluhan ribu orang. Jelaslah bahwa startup tidak setangguh yang dibayangkan. Orang kembali lagi ke UMKM dengan pola tradisional -- jual mie baso, pecel lele, nasi goreng, siomay baso tahu -- yang lebih konsisten dan berisiko lebih rendah, walaupun tingkat keuntungannya tidak tinggi.

Indonesia masih mempunyai kekuatan domestik dengan jumlah penduduk yang besar dan peluang pembangunan fisik serta peningkatan nilai aset yang fundamental secara riil, misalnya pembangunan kawasan baru di IKN Kalimantan, pemekaran penambahan Provinsi di Papua, juga pembangunan di Sulawesi dan Sumatera, mengejar ketertinggalan pembangunan dibanding kawasan Jawa - Bali. Beli tanah di luar Jawa hari ini masih relatif murah, dan seiring pembangunan nilainya benar-benar meningkat dalam 10-20 tahun mendatang. Program Pak Jokowi yang memastikan sertifikat tanah dimiliki penduduk saat ini akan menjadi sangat krusial di masa mendatang.

Apakah kita butuh ikut-ikutan menaikkan suku bunga perbankan? Apakah perbankan perlu secara agresif menurunkan likuiditas, antara lain dengan menaikkan Giro Wajib Minimum? Saya berharap tidak agresif. Tantangan kita bukan hanya memuaskan para investor, tapi lebih dari itu bagaimana kita mempertahankan tingkat produktivitas rakyat, yang bagaimanapun membutuhkan likuiditas untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun