Mohon tunggu...
Donny Adi Wiguna ST MA CFP
Donny Adi Wiguna ST MA CFP Mohon Tunggu... Konsultan - CERTIFIED FINANCIAL PLANNER, Theolog, IT Consultant, Photographer, dan Guru bikin Kue dan Roti

Konsultan Perencana Keuangan di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Setelah Inflasi Amerika Serikat

14 Juli 2022   23:22 Diperbarui: 19 Juli 2022   01:33 2348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Inflasi Amerika Serikat terus meningkat | Sumber: Getty Images North America/Alex Wong Via AFP

Maka, orang-orang di akhir 2021 terus berbelanja. Toko-toko kebanjiran pembeli. Banyak orang yang gembira dengan keadaan itu, percaya bahwa perekonomian sudah kembali bergerak. Keuntungan penjual meningkat. Semua lelah tapi senang bukan main. Stok-stok habis. Retailer merasakan pundi-pundi mereka kembali.

Jadi, retailer terus memesan lebih banyak stok ke grosir, yang turut bergembira. Para grosir terus memesan lebih banyak lagi ke pabrik. Dan pabrik terus memesan lebih banyak bahan baku, merekrut lebih banyak pegawai. Ini adalah masa pemulihan ekonomi, siapa yang lambat bisa ketinggalan! Orang Amerika harus berani berbisnis, harus siap mengambil risiko!

Tetapi di saat yang sama, terjadi Great Resignation, banyak sekali orang yang berhenti bekerja karena alasan kesehatan dan keamanan. Di tahun 2021, menurut Departemen Tenaga Kerja di Amerika Serikat, ada 47 juta orang mengundurkan diri dari tempat kerjanya. 

Banyak yang berhenti karena tidak puas dengan upah yang menurun selama Covid, mengalami kondisi kerja yang tidak enak, dan harus mengurus keluarga dengan anak kecil. Banyak yang memilih untuk mulai menjalankan usaha kecil sendiri.

Hilangnya angkatan kerja ini membuat pergerakan bisnis perusahaan melambat, selain itu keuntungan perusahaan tidak terus tersalurkan sebagai gaji dan bonus bagi pekerja. 

Lonjakan di pasar tidak mendorong perputaran uang secara keseluruhan. Orang yang menghabiskan uang bantuannya, tidak lantas mendapat penghasilan pengganti. Jadi setelah mereka habis berbelanja, mereka tidak mampu berbelanja lebih banyak lagi.

Sementara itu, kondisi global seperti perang Rusia-Ukraina membuat meningkatnya harga minyak bumi, gas alam, dan semua produk turunannya. 

Ini bukan inflasi yang terjadi karena banyaknya permintaan dibandingkan penawaran, melainkan inflasi karena tekanan biaya dan rantai pasokan yang terganggu oleh Pandemi dan konflik. Dengan naiknya harga-harga, maka rakyat yang mulai kehabisan uang kini membatasi pembelian pada hal-hal yang pokok dibutuhkan untuk hidup.

Bagaimana dengan stok dan orderan dari retailer dan grosir yang terlalu bergairah dengan penjualan heboh lalu? Ternyata, pembeli menghilang. Stok menumpuk di gudang, jumlahnya meningkat tajam. 

Sebagian stok itu dibiayai oleh modal sendiri, jadi ya bisa menunggu dijual perlahan-lahan. Sebagian lainnya, stok dibiayai oleh hutang, dan ini jadi masalah karena saat hutang jatuh tempo, tidak ada cukup uang. Ini, namanya Bullwhip Effect, belajar dari Prof Michael J. Burry.

Begini, kalau masih ada pembeli di pasar, maka penjual bisa menarik pembeli dengan berbagai promosi, misalnya memberikan diskon. Tetapi kalau tidak ada pembeli, buat apa memberikan diskon? Yang tersisa adalah orang-orang yang masih punya uang dan masih berniat membeli. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun