Mohon tunggu...
Doni Prayoga
Doni Prayoga Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bukan penulis, tapi sesekali nulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memandang Wajah Ideologi Negara Ibu Pertiwi

8 Juni 2018   05:32 Diperbarui: 8 Juni 2018   06:06 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tidak pernah mendengar istilah Pancasila? Pasti semua masyarakat di Indonesia pernah mendengarnya, baik dalam upacara senin pagi di sekolah atau mungkin dengan membaca pajangan di ruangan-ruangan tertentu. Momentum hari lahirnya Pancasila diperingati pada tanggal 1 Juni setiap tahunnya. Pancasila yang dicetus pertamakali pada sidang BPUPKI tahun 1945, dijadikan pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berperilaku sehari-hari. 

Hingga kini, Pancasila ditetapkan sebagai ideologi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila, sebuah ideologi dengan lima sila di dalamnya, tidak dibuat tanpa sebab. Selain sebagai pedoman dalam berperilaku, Pancasila juga berisi harapan yang ingin dicapai sejak pertamakali dicetuskannya oleh Presiden pertama negara Indonesia, yaitu Ir. Soekarno. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu sendiri diharapkan senantiasa memberikan pengaruh positif dalam perkembangan negara Indonesia.

Sesuai namanya, Pancasila berarti lima prinsip, diambil dari bahasa Sansekerta yaitu kata panca yang berarti lima dan sila yang berarti prinsip/asas. Pancasila dapat menjadi pondasi untuk memperkokoh dasar negara Indonesia. Kekokohan ini akan berpengaruh pada keberlangsungan dari Negara Indonesia itu sendiri. Jika pengamalan atau penerapan dari nilai Pancasila itu kuat, maka negara ini akan kuat juga, bahkan untuk menghadapi tantangan dari luar sekalipun, seperti pengaruh negatif dari globalisasi.

Eksistensi Pancasila sebagai Dasar Negara

Namun seiring perkembangan zaman eksistensi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia perlahan meragukan. Pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat bahkan oknum pemerintah terhadap nilai yang terkandung di dalamnya, menjadi faktor utama memudarnya eksistensi itu sendiri. Banyak sekali peristiwa-peristiwa atau kejadian yang membuktikan kebobrokan moral masyarakat jika berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung di setiap sila.

Seperti dalam sila pertama yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dalam sila ini, terkandung nilai yang memiliki kekuatan yang suci, dimana dalam setiap perbuatan haruslah berlandaskan nilai kerohanian dari agama yang dipercayai. Dalam sila ini juga ditanamkan sikap toleransi antar umat beragama mengingat Indonesia memiliki keragaman dalam hal kepercayaan. 

Namun pada kenyataannya, apa yang terjadi? Masih segar di ingatan kita tentang peristiwa pengeboman tiga gereja di Surabaya (13/05) oleh oknum yang mengatasnamakan sebuah agama. Atau bahkan peristiwa pembakaran masjid di Papua oleh Jemaat Gidi saat belangsungnya Shalad Id tahun 2015 silam. Hal ini menandakan adanya ketidakpatuhan oleh masyarakat terhadap nilai luhur dari sila pertama ini.

Tidak selesai sampai di situ, sila kedua yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" sepertinya juga tidak diindahkan. Menurut Nurdiaman (2007), sila ini mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, sama hak dan kewajibannya tanpa mebedakan agama, suku, ras, dan keturunan. Hal ini tentu telah bertolak belakang dengan apa yang terjadi belakangan ini. 

Seperti kasus pembunuhan bocah dalam karung di Bogor kemarin (29/05), motif pembunuhan dalam kasus ini hanya karena pelaku dendam dimarahi orangtua korban. Hal ini jelas telah melanggar nilai yang terkandung dalam sila kedua, sekaligus melanggar Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002.

Sila ketiga, yaitu "Persatuan Indonesia" juga tidak luput dari melemahnya eksistensi nilai nya. Faktor pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa oknum masih menjadi fokusnya di sini. Sila ketiga ini menekankan pada semboyan dari Negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang berarti walaupun masyarakat Indonesia memiliki banyak perbedaan karena multikulturalisme, bukan berarti harus terpecah belah dan membentuk kubu. Harapan ini tampaknya agak mengecewakan jika dilihat dengan kondisi saat ini.

 Dimana perkembangan zaman telah membentuk manusia yang individualis. Meredupnya eksistensi pada nilai dalam sila ini, seakan membuka mata kita pada kemunculan golongan separatis seperti Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka yang menuntut pemisahan diri dari Indonesia. Dengan banyaknya peristiwa dan tantangan tersebut, jika kondisinya tetap begini, bukan tidak mungkin negara ini akan terpecah belah di masa yang akan datang, dimana rakyat di Indonesia saling berperang seperti yang ditakutkan. Mengutip pernyataan dari Soekarno, "Perjuanganku jauh lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri". Tentu melawan bangsa sendiri jauh lebih berat dan menyakitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun