Mohon tunggu...
Doni Ekasaputra
Doni Ekasaputra Mohon Tunggu... Dosen - Jebolan Mahad Aly Situbondo

Mengolah rasa menuju cinta-Nya

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Puasa Ramadan sebagai Vaksin Corona

14 April 2021   15:13 Diperbarui: 15 April 2021   13:35 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Puasa itu Menahan diri dari lapar dan Haus. Sumber Gambar:https://wartakota.tribunnews.com/

Di luar prediksi saya. Ternyata, suasana ibadah puasa kali ini  masih sama seperti Ramadan tahun kemarin. Pandemi corona masih setia membersamai ibadah puasa Ramadan kita. Mulanya saya optimis bahwa ibadah Ramadan kali ini sudah tidak lagi dalam suasana pendemi. Barang kali, ini tidak hanya harapan saya, tetapi juga asa seluruh penduduk muslim di belahan dunia.

Harapan saya bukan tanpa alasan. Seharusnya, puasa Ramadan tahun kemarin adalah momentum tepat untuk memulai penanggulangan  pandemi corona. Puasa Ramadan bisa didayafungsikan menjadi free vaksin untuk memutus  mata rantai penyebaran virus corona. Pendayagunaan Ramadan semacam ini semestinya menjadi gerakan massif kolektif yang berangkat dari kesadaran personal atas dorongan spiritual dan sosial kenegaraan (wazi' ilahiyah wa sultaniah).

Puasa Ramadan dengan segala dimensi makna dan prosedur tata laksananya mengajarkan dua karakter sekaligus, yakni pengendalian diri dan kedisiplinan. Dua karakter ini adalah sebagian dari esensi dari ibadah puasa. Sebagaimana himbauan petugas kesehatan, dua karakter ini pulalah vaksin ampuh untuk menghentikan laju penyebaran virus corona. Walau penanggulangan covid sudah sampai pada sesi vaksinasi oleh petugas kesehatan, tanpa kedisiplinan dan pengendalian diri, saya pesimis.

Untuk menjangkau seluruh lapisan rakyat Indonesia, proses vaksinasi memerlukan waktu dua atau tiga tahun lagi. Rentang waktu yang panjang ini tentunya bisa menjadi celah penyebaran pandemi covid. Resiko penularan tetap rentan terjadi meski sudah melalui proses vaksinasi. Di sinilah pentingnya kedisiplinan dan pengendalian diri menjadi karakter.

Di balik aktifitas berbuka dan makan sahur puasa Ramadan, ada training kedisplinan. Tanpanya, sulit rasanya kita bisa bangun di sepertiga malam hanya sekedar untuk santap sahur dengan deadline waktu tertentu. Sebagaimana ibadah lainnya, pelaksanaan puasa tidak bisa berdiri sendiri. Ada prokotol "kepuasaan" yang harus dipatuhi agar puasa yang dijalani sahih. Faktanya, protokol "kepuasaan" yang ketat itu bisa dipatuhi demi derajat taqwa yang telah Allah janjikan (Albaqarah ayat 183). Lalu kenapa hanya sekedar prokes berupa jaga jarak, pakek masker dan cuci tangan pakek sabun masih sulit terlaksana, padahal yang lebih dari itu bisa?

Tanpa pengendalian diri, mustahil kita mampu menuntaskan puasa Ramadan satu bulan lamanya. Dorongan rasa lapar dan dahaga untuk makan dan minum ditahan dari terbit fajar hingga mentari kembali ke peraduan. Selain itu, ibadah puasa juga melatih kita untuk mengendalikan nafsu syahwat yang luar biasa binal dan liar. Nyatanya? Desakan nafsu syahwat itu mampu diempet sampai beduk magrib ditabuh. 

Mereka yang serius dengan puasanya, tidak akan terbesit di benaknya untuk ngabuburit  di pinggir jalan raya atau taman-taman kota sebagaimana jamak disaksikan bilamana sore hari menjelang buka puasa. Mereka juga enggan untuk mondar-mandir keliling mall atau pasar. Intinya, mereka mampu menahan diri untuk mengurangi mobilitas diri dari kegiatan yang unfaidah secara spiritual.

Begitu sangat dominannya edukasi pengendalian diri puasa Ramadan. Dengan edukasi semacam ini, kita mampu menjauh dari apapun yang haram walau awalnya halal. Lalu kenapa kita masih sangat sulit menghindar dari kerumunan yang notabene resiko penularan covidnya cukup tinggi? Padahal mengendalikan diri untuk keperluan semacam ini tidaklah seberat mengendalikan rasa lapar dan desakan nafsu syahwat.

Walau edukasi kedisiplinan dan pengendalian diri sangat dominan, namun nyatanya tidak semua orang yang berpuasa beruntung mendapatkan dua karakter tersebut.  Banyak orang berpuasa namun hanya ceremonial belaka. Puluhan kali menunaikan ibadah puasa, kualitasnya stagnan. Tidak ada perubahan yang signifikan terhadap karakter pelakunya. Tidak ada yang diperolehnya, kecuali lapar dan dahaga saja (hadis nabi). Itulah sebabnya, dua karakter Ramadan  tersebut tidak ngefek dalam rutinitas sehari-hari kita, baik saat bulan Ramadan maupun pasca Ramadan.

Oleh sebab itu, seyogyanya momentum pandemi ini dijadikan sebagai daya pacu untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas puasa Ramadan kita. Tujuannya jelas, supaya puasa yang dijalani kualitasnya semakin meningkat dan insyallah corona cepat minggat. Sudah terlalu banyak nyawa yang hilang olehnya. Fakta ini seharusnya bisa mengusik spiritualitas kita untuk memutus rantai penyebaran dengan pendekatan ibadah puasa.

Meningkatkan kualitas puasa kita bisa dilakukan dengan cara di-upgrade. Levelnya dinaikkan satu tingkat di atasnya, yaitu dari puasa awam menjadi puasa khawas. Bedanya, jika puasa di level awam hanya terbebani untuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum maka puasa khawas sudah lebih berat dan ketat dari itu. Puasa di level khawas, sudah mampu menahan lisan, pandangan, tangan dan kaki untuk berbuat sesuatu yang dapat mengurangi pahala puasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun