Mohon tunggu...
Donie Hulalata
Donie Hulalata Mohon Tunggu... Big Data Project Officer -

Seorang pria berkacamata dan bertubuh gempal yang senang berbicara dengan orang lain, baik melalui lisan juga dengan tulisan. Temukan tulisan saya yang lainnya di: Bukan Jurnal Sejarah (http://bukanjurnalsejarah.wordpress.com).

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Habis Lulus Terbitlah ‘Garage Sale’

14 April 2016   14:37 Diperbarui: 14 April 2016   22:08 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Forum Jual Beli di Facebook sebagai media 'Garage Sale'. (Foto: Dokpri)"][/caption]Semangat Pagi! Dinamika kehidupan di masa sekolah memang tidak lekang oleh waktu. Apa lagi ketika menginjak bangku kuliah. Segala pintu menuju kedewasaan sangat terbuka lebar bagi seseorang. Salah langkah kita malah memasuki pintu yang tidak baik. Namun masih banyak yang memilih pintu yang mengantarkan dirinya menjadi orang yang sukses.

Kesuksesan di masa kuliah pun memiliki definisi yang variatif. Ada yang menggarisbawahi kesuksesan berarti secara akademis. Namun ada pula yang menganggap prestasi non-akademis seperti olah raga, organisasi, aktivitis, dan lain-lain juga merupakan kesuksesan. Bahkan ada golongan mahasiswa yang sukses di kedua hal tersebut.

Belum lagi, drama persahabatan, percintaan, dan pertempuran hati yang terjadi pada seseorang selama waktu rata-rata 4 tahun tersebut. Karena bagaimana juga, drama-drama tersebut merupakan warna dalam kehidupan di perkuliahan.

Dalam menjalani kehidupan di kuliah tersebut, pada tahap akhir seorang mahasiswa akan menuju satu tahap final. Dan pada tahap ini skripsi menjadi satu episode seru dan dramatis. Karena skripsi ini adalah tiket masuk mendapatkan gelar sarjana.

Demikianlah secara singkat dinamika dalam perkuliahan. Hal yang menarik menjadi anak kuliah adalah saat mendapat kesempatan untuk berperan sebagai anak kos atau kontrakan. Bagi mahasiswa perantauan, hal ini biasa dijalankan mengingat di kota tempat ia kuliah tidak memiliki saudara atau tempat tinggal tetap. Maka menyewa kamar kos atau mengontrak rumah menjadi fenomena yang lumrah.

Bahkan, bagi orang-orang berkantong tebal, kos-kosan atau kontrakan menjadi komoditi bisnis yang menggiurkan. Mengingat dalam waktu satu tahun saja, sebuah perguruan tinggi dapat menerima mahasiswa baru sebanyak 5000 sampai dengan 6000 orang. Pertumbuhan ini seperti ‘lahan subur’ bagi pengusaha kos-kosan atau kontrakan.

Mengambil satu sampel saja sebagai gambaran, di daerah Bandung Selatan yang terdapat sebuah Perguruan Tinggi Swasta, kos-kosan di daerah kampus tersebut disewakan mulau harga Rp 3 juta per tahun. Untuk rumah kontrak mulai harga 10 juta per tahun. Masing-masing kamar kos atau kontrakan tersebut menawarkan fasilitas yang beragam sesuai dengan harga yang ditawarkan.

Untuk kos-kosan di harga Rp 3 juta per tahun tadi biasanya kosong tanpa fasilitas apa pun. Namun mulai harga Rp 5 juta sampai Rp 15 juta per tahun sudah dilengkapi dengan kasur, meja kecil, lemari, bahkan sampai dengan pendingin ruangan dan televisi. Bahkan tidak sedikit kos-kosan yang memasukkan fasilitas listrik, internet, dan laundry dalam harga sewa itu.

Sama hal nya dengan kos-kosan, rumah kontrak pun demikian. Hanya saja bergantung pada banyaknya kamar yang disediakan dalam rumah tersebut. Biasanya mulai dari empat kamar sampai enam kamar dalam satu rumah. Dengan harga mulai Rp 10 juta per tahun tadi, ada pula yang menyediakan jasa pembantu untuk sekedar menyapu rumah kontrakan tersebut.

Namun demikian, mahasiswa perantauan yang menjadi anak kosan atau kontrakan tersebut tidak jarang membeli keperluan tambahan untuk kebutuhannya sendiri. Di antaranya seperti kasur lipat, meja belajar, lampu belajar, televisi kecil, dan dispenser. Bahkan ada yang sampai membeli lemari pakaian, karpet, dan peralatan lain yang biasanya ia temukan di rumahnya sendiri namun tidak terdapat di kamar kos atau kontrakannya tersebut.

Padahal, barang-barang tersebut tergolong barang dengan pemakaian yang lama. Untuk waktu 4 tahun saja barang itu masih akan terlihat baru meski jarang dibersihkan. Sebut saja kasur, meja belajar, dan lemari pakaian. Barang-barang ini paling hanya terdapat bekas coret-coretan jika itu pemiliknya adalah laki-laki. Atau bisa bersih sama sekali karena memang barang-barang tersebut bukan barang yang sering digunakan.

Kemudian, ketika anak kos atau kontrakan tersebut menyelesaikan studinya barang-barang yang mereka beli di tahun pertama tersebut akan menjadi tidak terpakai. Beda cerita kalau ada adik atau saudara yang meneruskan sewa kamar di tempatnya sendiri. Maka barang tersebut tentu dapat digunakan. Namun bagaimana jika tidak digunakan lagi?

Mulai dari sini, muncul tren ‘garage sale’ di kalangan anak kos atau kontrakan. Garage sale sendiri adalah kegiatan menjual barang-barang milik pribadi yang masih layak guna namun tidak terpakai oleh pemiliknya. Biasanya dijual dengan harga murah, jauh dari harga beli si barang tersebut.

Tren garage sale di lingkungan anak kuliahan perantauan yang sudah menyelesaikan studinya cukup sering ditemui. Fenomena itu pula yang menjadi inspirasi dari tulisanku kali ini. Terlebih lagi aku pernah menjadi bagian dari fenomena garage sale tersebut.

Ditambah pada era sekarang kemajuan teknologi informasi yang menghasilkan sebuah media sosial juga berfungsi sebagai media jual beli secara daring (online). Termasuk di dalamnya mahasiswa-mahasiswa perantauan yang dimaksud di atas. Hanya modal foto menggunakan kamera di gawai (gadget) canggihnya, kemudian ia mengunggah di media sosial dan diberi keterangan bahwa barang-barang miliknya di kamar kos atau kontrak tersebut akan dijual.

Apa lagi banyaknya grup dalam media sosial tersebut memudahkan pendistribusian informasi penjualan tersebut diakses. Contohnya grup jual beli di Facebook. Aku pun cukup sering mendapatkan notifikasi dari grup semacam itu yang berisi informasi barang bekas kos atau kontrakan yang dijual.

Meski garage sale untuk kasus seperti ini bukan mata pencaharian utama, setidaknya dengan demikian, si mahasiswa tersebut bisa memperoleh uang dari hasil menjual barang-barang yang tidak lagi ia gunakan. Uangnya sendiri lebih sering untuk modal ia pulang ke rumahnya di tempat asal atau malah dijadikan modal untuk merantau ke tempat yang lain lagi. Namun demikian, alasan yang aku terapkan pada saat menjual barang-barang di kamar kos –setelah aku menyelesaikan studi- adalah karena agar saat pindahan tidak banyak barang yang aku bawa.

Apapun alasannya, fenomena garage sale ini cukup unik untuk diamati. Jika terdapat satu atau dua barang yang ternyata cocok dengan kebutuhan kita, kenapa tidak untuk kita yang membelinya. Hitung-hitung harganya yang murah namun kondisinya masih tergolong bagus.

Kalau Kompasianers, pernah tidak melakukan garage sale ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun