Di tengah semangat melestarikan budaya dan membangun ikon pariwisata daerah, proyek pembangunan Monumen Reog di Ponorogo justru memunculkan kontroversi tajam. Apa yang semula diniatkan sebagai lambang kebanggaan budaya lokal kini dipandang oleh banyak pihak sebagai simbol kemegahan yang terisolasi, gagal mewujudkan potensi ekonominya, dan meninggalkan jejak sosial yang bermasalah.
Antara Kebanggaan Budaya dan Kegagalan Strategis
Dengan anggaran induk proyek hingga mencapai Rp 200 miliar, Monumen Reog seharusnya menjadi magnet pariwisata dan pemantik ekonomi lokal. Namun, alih-alih menjadi pusat pergerakan ekonomi baru, proyek ini kini menghadapi resistensi sosial dan kritik tajam dari berbagai kalangan.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Suko Widodo, mempertanyakan kebijakan pemerintah daerah yang mengalokasikan dana begitu besar di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit. Ia menilai, pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur sosial jauh lebih mendesak. Pendapat ini diamini oleh Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti. Ia menegaskan bahwa Ponorogo bukanlah daerah dengan basis ekonomi pariwisata yang kuat, sehingga pembangunan monumen sebesar ini dinilai sebagai langkah yang tidak sejalan dengan realitas lokal---bahkan berpotensi menjadi pemborosan anggaran.
Narasi Tandingan: Monumen di Atas Luka Komunal
Pembangunan monumen ini juga menuai protes dari komunitas penambang lokal di Sampung yang tergusur akibat pengosongan lahan. Tidak ada transisi yang adil bagi mereka, dan keluhan mereka belum terselesaikan hingga hari ini. Kegagalan proyek ini untuk mendapatkan social license to operate (izin sosial untuk beroperasi) telah menciptakan narasi tandingan yang kuat: monumen kebanggaan yang berdiri di atas penderitaan kelas pekerja.
Narasi ini bukan sekadar keluhan sosial, namun telah berubah menjadi risiko reputasi dan operasional yang nyata. Potensi protes terbuka, gugatan hukum, dan oposisi politik semakin membayangi proyek, mengancam linimasa penyelesaian serta stabilitas pendanaannya.
Tuduhan Korupsi: Dari Kritik Abstrak ke Tindakan Konkret
Pada Agustus 2024, seorang warga bernama Adrian Fahmi melaporkan dugaan korupsi proyek ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam laporannya, ia menyebutkan adanya kerugian negara hingga Rp 35 miliar dari total proyek Rp 76 miliar, dengan tudingan keterlibatan pejabat Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan perusahaan swasta PT Widya Satria.
Tuduhan ini menjadi titik balik dalam dinamika proyek. Isu yang awalnya hanya soal efisiensi anggaran kini berubah menjadi pertanyaan serius soal integritas: apakah dana publik benar-benar digunakan untuk tujuan yang sah, atau ada yang mencurinya?