Mohon tunggu...
Doni Arief
Doni Arief Mohon Tunggu... Dosen - Faqir Ilmu

Pencari dan penikmat kebenaran paripurna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Makna Idul Adha di Tengah Pandemi

19 Juli 2021   18:16 Diperbarui: 19 Juli 2021   18:33 1837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita pengorbanan yang berikutnya adalah terjadi di antara Nabi Ibrahim dengan anaknya Nabi Ismail, di mana Alloh Subhanahu Wa Ta'ala benar-benar menguji keimanan Nabi Ibrahim dengan ujian yang sangat berat, yaitu harus mengorbankan anaknya sendiri. 

Beratnya pengorbanan Nabi Ibrahim tersebut, menjadi raison d'etre (alasan) Beliau dikenal sebagai kekasih Alloh Subhanahu Wa Ta'ala atau Khalilulloh. Mungkin, manusia biasa akan menolak walaupun perintah tersebut datangnya dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, untuk mengorbankan atau menyembelih anak kandungnya sendiri dengan alasan ketaatan. 

Apalagi kehadiran dari seorang anak tersebut ditunggu-tunggu dalam waktu yang sangat lama. Berbagai asumsi tersebut tidak berlaku bagi Nabi Ibrahim karena dia menyadari substansi dari perintah menyembelih anaknya sendiri merupakan ujian keimanan baginya. 

Bahkan, apabila perintah Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memang harus memaksa Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya sendiri tanpa harus mengetahui hikmah di balik peristiwa yang akan terjadi, maka Nabi Ibrahim dengan segenap jiwa dan raganya pasti akan melakukannya. 

Di antara ikhtiar atau kerja keras, menyerah di tengah jalan, berkecamuknya perasaan, kesulitan yang menghimpit hati seolah-olah tidak ada jalan keluar lagi dan hanya tersedia ruang tawakkal, maka disitulah turun solusi dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala untuk memudahkan semuanya. 

Akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi dikorbankan karena Beliau digantikan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dengan seekor kibas (kambing yang memiliki bulu yang panjang dan tebal), yang manandai bermulanya syariat pelaksanaan Qurban.

Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini merupakan takdir yang telah ditetapkan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, kita tidak bisa menghindar dan melarikan diri dari kenyataan takdir tersebut. 

Absolutisme tidak mungkin dikalahkan relativisme, namun Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak membelenggu manusia dalam konservatisme yang rigid, karena manusia diberikan ruang determinisme untuk memacu akselerasi kecerdasannya karena manusia menanggung beban sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30). 

Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih iman atau kekafiran (Q.S. Al-Kahfi: 29), karena hanya manusia yang dijadikan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dengan instrumen kecerdasan dan perasaan yang paling lengkap dibandingkan yang lainnya. Walaupun, manusia bebas dalam memilih tetapi tetap yang menjadi kebenaran adalah pilihan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala (Q.S. Al-Baqarah: 216).

Menerima segala ketentuan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala adalah cara terbaik dalam memaknai kehidupan. Menerima bukan hanya sekedar berdiam diri tetapi harus dibarengi dengan kerja keras atau ikhtiar, karena Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak akan menggeser kemuliaan hidup apabila kita hanya berpangku tangan (Q.S. Ar-Ra'ad: 11). 

Ketika kerja keras sudah dilakukan dengan maksimal maka setelahnya bertawakkal dan membiarkan takdir Alloh Subhanahu Wa Ta'ala bekerja buat kita (Q.S. Ali Imran: 159), karena apapun hasilnya Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak akan membebani kita dengan sesuatu kecuali kita sanggup untuk menanggulanginya (Q.S. Al-Baqarah: 286).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun