Mohon tunggu...
Doni Mardoni
Doni Mardoni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengajari KPK Cara Mengusut Korupsi e-KTP

19 Oktober 2017   11:50 Diperbarui: 19 Oktober 2017   12:04 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa boleh buat, kali ini penulis hendak mengajari buaya berenang. Tidak apa-apa, asalkan buayanya tetap di air, tidak naik ke darat. Kalau naik ke darat ia menjadi buaya darat dan berpeluang digebuki orang beramai-ramai. Masalahnya para simpatisan KPK itu selalu saja belagak pilon, entah pura-pura tidak tahu atau memang benar-benar tidak tahu. Mendukung kebenaran adalah perbuatan mulia, tetapi mendukung kesalahan adalah perbuatan dosa, dan dapat menjerumuskan penegakan hukum NKRI ke dalam neraka!

Begini ringkasannya:

Anggaran e-KTP itu diajukan oleh Mendagri dalam RAPBN, jumlahnya Rp. 5,9 Trilyun. Setelah disetujui oleh Banggar DPR maka proyek itu resmi dianggarkan dalam APBN, lalu Mendagri-pun segera menyusun perencanaan kerja dan membentuk organisasi pelaksanaannya. Termasuk yang wajib segera dilakukan Mendagri adalah menunjuk PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan memasukkan proyek itu ke Panitia Lelang. Sampai pada tahap ini seluruh Anggaran e-KTP masih ada di kas Menteri Keuangan. 

Lelang pun dimulai. Para pengusaha menawarkan diri untuk mengerjakan e-KTP itu setelah mempelajari ketentuannya. Penawaran termurah yang akan disetujui Mendagri. Setelah itu, Mendagri dan pengusaha membuat serangkaian persetujuan, meliputi syarat dan kualitas pekerjaan, aturan pembayaran, sanksi-sanksi apabila ada pihak yang melanggar perjanjian, dan lain-lain yang dianggap perlu. Sampai pada tahap ini seluruh anggaran masih utuh di kas Menteri Keuangan. 

Lalu pengusaha memulai pekerjaan sesuai pesanan Mendagri dengan dana yang dimilikinya sendiri. Anggaran e-KTP belum boleh diutak-atik serupiah pun! Pengusaha merekrut tenaga kerja dan membayar gajinya, menyiapkan alat-alat dan mengerjakan pembuatan e-KTP, dengan dananya sendiri. 

Setelah pekerjaan mencapai 30 persen selesai, barulah pengusaha itu boleh mengajukan permintaan pembayaran kepada Mendagri, melalui PPK. Naskah pengajuan itu dipelajari dengan teliti, disandingkan dengan hasil pekerjaan nyata di lapangan. Jika ada perbedaan atau ketidaksesuaian maka pembayaran akan ditunda. Jika semuanya sesuai dengan perjanjian, barulah Mendagri meneken check pencairan uang sejumlah 30 persen tadi itu. 

Begitulah seterusnya sampai seluruh pekerjaan e-KTP itu selesai dan pembayaran pun dilunasi oleh Mendagri. Jika belum selesai pekerjaan itu (nyatanya sampai sekarang pembuatan e-KTP belum selesai), maka pembayarannya pun mestinya belum lunas seluruhnya. BPK wajib memeriksa Anggaran e-KTP yang ada di kas Kemenkeu sekarang, apakah masih ada sisa? Jika sudah habis ludes, maka itu adalah pelanggaran hukum. Baik Mendagri dan Menkeu sama-sama melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian negara.

Lalu, dimana Setya Novanto mengambil uang e-KTP itu? Siapa yang memberikannya dan untuk keperluan apa? 

Jika tak ada yang memberikan uang sebanyak itu, apakah Mendagri atau Menkeu, maka tudingan korupsi Setya Novanto adalah isapan jempol belaka. 

Catatan: Penulis tidak memiliki kepentingan apa pun dengan SN. Melainkan untuk kepentingan hukum harus ditegakkan dengan sebaik-baiknya. Jangan melakukan pembodohan publik di Bumi Pancasila ini!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun