Mohon tunggu...
Sherena
Sherena Mohon Tunggu... lainnya -

A simple person who pours her simple mind on her writings. An enthusiast in learning critical discourse analysis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradoks Kasus Hukuman Mati Satinah

27 Maret 2014   19:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satinah adalah satu dari sekian warga negara Indonesia yang mengadu nasib ke negara orang. Berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik berujung pada kenyataan bahwa Satinah harus menghadapi hukuman mati di Arab Saudi. Kasusnya dimulai pada tahun 2007 ketika itu Satinah melakukan tindakan kriminal berupa pembunuhan kepada majikannya dan mencuri uang majikannya sebesar 37,970 riyals (US$10,125). Kemudian Satinah mengakui kesalahannya dan dipenjarakan pada tahun 2009 sampai akhirnya pada tahun 2010 dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Warga Semarang ini kini tinggal menunggu waktu dan keajaiban karena pasalnya untuk keluar dari hukuman mati ini, Satinah harus membayar diyat sebesar 10 Juta Riyal namun karena hasil negoisasi pemerintah akhirnya diyat berkurang menjadi 7 juta Riyal atau setara dengan 21 Milyar. Bukan jumlah yang sedikit, bayangkan 21 Milyar jika dijadikan sebagai beasiswa untuk anak-anak Indonesia melanjutkan pendidikan, berapa banyak anak-anak Indonesia yang bisa melanjutkan pendidikannya. Bayangkan! Namun kenyataannya adalah 21 Milyar itu dibutuhkan untuk menebus diyat seorang warga negara Indonesia yang kini tinggal menunggu waktu atau menunggu keajaiban.

Ada suatu paradoks yang terlihat di sini, Pemerintah harus membantu seseorang yang telah mengakui kesalahannya, namun jika pemerintah tidak membantu (dalam hal ini membayar seluruh uang diyat) maka pemerintah akan dicap sebagai pihak yang tidak menganut asas keberpihakan kepada warganya sendiri. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah semua uang diyat TKI yang terkena hukuman mati ini harus dipenuhi oleh Pemerintah? Analoginya adalah ketika semua uang diyat ini dipenuhi oleh pemerintah maka dengan mudahnya warga negara Indonesia lainnya yang (misalnya) terkena kasus hukuman mati akan meminta uang tebusan diyat kepada pemerintah, bayangkan TKI a.n. Zainab saja uang diyat 90 Milyar rupiah, yang hampir mendekati dana alokasi perlindungan TKI yang berkisar 100 Milyar untuk tahun 2014. Anggaran 100 Milyar untuk dihabiskan melindungi 1 orang saja?

Terkait kasus ini pemerintah tidak diam dalam kasus ini, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meringankan hukuman Satinah, termasuk salah satunya melakukan negoisasi kepada pihak Arab Saudi, sebagai contoh yang tadinya harus membayar diyat sebesar 10 juta Riyal kemudian berkurang menjadi 7 Juta Riyal. Tidak hanya itu, pemerintah juga menegoisasi untuk ditundanya penyerahan diyat ini, namun Pemerintah Arab Saudi tidak memiliki hak untuk memaafkan Satinah karena yang berhak memberikan maaf adalah pihak keluarga korban. Kemudian selain itu, pemerintah RI (termasuk Gubernur Semarang) juga mengadakan penggalangan dana untuk Satinah. Adapun hukum di Arab Saudi itu berbeda, mereka yang mencuri akan dipotong tangannya, dan mereka yang menghilangkan nyawa satu orang maka harus dibalas dengan nyawa pula. Jadi satu-satunya jalan untuk meringankan beban Satinah adalah mendapatkan pemaafan dari keluarga korban.

Yang sekarang harus dilakukan adalah berusaha membantu bukan memojokkan sebuah pihak demi sebuah tujuan tertentu di dalam musim kampanye dan hiruk pikuk datangnya pemilu ini.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun