Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Gelaran Pilkada 2020, Jangan Salahkan Rakyat Bila Semakin Oportunis

23 November 2020   22:27 Diperbarui: 24 November 2020   06:08 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah drama perpolitikan nasional yang penuh intrik dan jebakan. Tensi jelang Pilkada serentak 2020 mulai meningkat. Kendati pun gaungnya hanya terbatas di lingkup daerah, namun level intrik dan drama yang terjadi, tidak kalah panas dibanding kancah perpolitikan nasional.

Tidak dipungkiri, tensi yang memanas sebagian besar disebabkan penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye para kontestan Pilkada.

Muatan kampanye yang tersampaikan tidak jarang melupakan unsur edukasi, subjektif dan cenderung terlalu memuja calon yang didukung. 

Alhasil konten negatif ini, diterima dengan reaktif dan emosi oleh para pemilih, yang notabene mayoritasnya adalah masyarakat rendah literasi dan belum mampu menyaring informasi yang masuk secara objektif.

Salah satu fenomena yang sudah ada di ajang pemilihan umum sebelumnya, dan semakin merebak di Pilkada tahun ini adalah pemberian imbalan atas suara yang diberikan konstestan terhadap masyarakat pemilih. Boleh disimpulkan bentuk imbalan ini dapat digolongkan sebagai politik uang.

Fenomena politik uang ini sudah lama dikeluhkan oleh partai dan kontestan Pilkada. Mereka mengeluhkan biaya politik yang semakin lama semakin membengkak. Bukan hal yang mengherankan lagi, apabila seorang calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya di kisaran puluhan milyar.

Hal ini juga pernah disinggung oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Tito memperkirakan, bahwa setiap calon kepala daerah membutuhkan anggaran di kisaran 30 milyar Rupiah. Biaya ini hanya berlaku pada kontestasi pemilihan kepala daerah tingkat Kabupaten/Kota. Untuk tingkat provinsi pasti lebih mahal lagi.

Bila dihitung, rasa-rasanya pengeluaran selama tahapan Pilkada tidak setimpal dengan pendapatan yang diterima, apabila sudah menduduki jabatan kepala daerah. 

Berbagai pihak, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai cost politic yang tinggi merupakan penyebab utama terjadinya korupsi. Para oknum kepala daerah terpaksa melakukan korupsi demi mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun