Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Momen Tidak Tepat Pengesahan UU Cipta Kerja

6 Oktober 2020   22:36 Diperbarui: 7 Oktober 2020   05:10 1977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buruh | Sumber: Dok. Humas Pemda Sumedang/KOMPAS.com/ Aam Aminullah

Selasa, 5 Oktober 2020, Pemerintah dan DPR resmi menetapkan UU Cipta Kerja. Dalam terminologi umum, UU ini merupakan gabungan berbagai peraturan lintas sektoral yang dirangkum dalam satu Undang-Undang. Untuk lebih gampangnya, sebut saja Undang-Undang Sapu Jagad atau UU CK.

Presiden Jokowi sendiri dalam pidato kemenangannya di tahun 2019, menjanjikan di periode ke-2 pemerintahannya akan menginisiasi 4 Undang-Undang "Omnibus Law", salah satunya UU Cipta Kerja.

Untuk sekadar diketahui, pembentukan RUU CK ini didasari oleh keluh kesah Presiden tentang masalah perizinan yang berlarut-larut dan tingkat produktivitas buruh Indonesia yang paling rendah se-ASEAN. Tidak dapat dipungkiri, masalah ini menghambat target pemerintah untuk menggenjot investasi luar negeri. Indonesia acapkali kalah bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam bahkan dengan Kamboja dan Myanmar.

Tambahan lagi, iklim ketenagakerjaan Indonesia selalu diganggu oleh ritual demo tahunan para buruh. Topiknya tidak jauh-jauh, selalu berkutat dengan upah minimum dan status outsourcing tenaga buruh.

Proses Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja

11 Klaster UU Cipta Kerja (Olah Pribadi)
11 Klaster UU Cipta Kerja (Olah Pribadi)
Terlepas dari baik atau buruknya materi UU CK, penulis tidak ingin membahas konten UU ini lebih dalam. Biarlah pembahasan materi UU ini menjadi ranah ahli hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Satu hal yang menarik untuk dibahas adalah seberapa besar keterlibatan buruh dan pengusaha dalam proses pembentukan UU ini. Bagaimanapun juga, dalam membentuk UU yang legitimate, memerlukan sumbang saran dari kedua stakeholder ini (pengusaha dan buruh), yang notabene terdampak langsung bila UU ini diterapkan.

Dari 11 klaster Rancangan UU ini, sejak awal yang menjadi sorotan adalah item dalam UU ini yang mengatur tentang ketenagakerjaan. Berbagai organisasi buruh selalu aktif dalam mencermati pasal demi pasal RUU pengganti UU Nomor 13 tentang ketenagakerjaan ini.

Menjadi hal yang wajar, di tengah sorotan dalam pembahasan UU ini, berbagai elemen masyarakat terutama organisasi buruh selalu menyerukan tuntutan, agar dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-Undang ini.

Sepengetahuan penulis, sepertinya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mempunyai celah yang cukup merugikan bagi pemegang kepentingan, dalam hal ini buruh yang memang terdampak langsung, bila UU CK ini diterapkan.

Memang, dalam UU No 15 Tahun 2019 dan Pasal 162 UU MD3 s.d. Pasal 173 UU MD3 tidak memuat pasal-pasal yang mengatur keterlibatan pemegang kepentingan dalam penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang. Padahal dalam sistem "Good Governance", akuntabilitas dan transparansi kebijakan mutlak harus diterapkan.

Bagaimanapun juga, buruh sebagai objek dalam UU ini haruslah dilibatkan. Boleh-boleh saja berkilah, bahwa DPR adalah representasi masyarakat. Tetapi belajar dari pengalaman, DPR sebagai institusi perwakilan masyarakat seringkali malah berlawanan dengan kepentingan warga yang memilihnya. Aneh ya? Tetapi itulah realitanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun