Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menakar Untung-Rugi Pembelian Pesawat Tempur Eurofighter Typhoon

25 Juli 2020   18:27 Diperbarui: 26 Juli 2020   01:35 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eurofighter Typhoon (Erwin Sheriau/Getty Images)

Bulan ini,  jagad militer Indonesia dikejutkan dengan 2 kabar tentang pembelian Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI AU. Pertama, rilis berita dari Defence Security Cooperation Agency (DSCA)  Amerika Serikat,  yang  menyatakan bahwa Departemen Pertahanan AS sudah menyetujui penjualan 8 unit pesawat tilt rotor MV-22 Osprey Block C ke Indonesia, disusul kemudian dengan berita ketertarikan Kementerian Pertahanan Indonesia untuk membeli pesawat tempur Eurofigter Typhoon milik Angkatan Udara Austria. 

Rencana pembelian MV-22 Osprey, mungkin tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebijakan  Trump yang menginginkan keseimbangan neraca dagang dengan negara mitra, maka keinginan AS menjual MV-22 Osprey dapat dipahami  sebagai langkah Pemerintahan Donal Trump untuk menyeimbangkan neraca dagang dengan Indonesia, tercatat tahun 2019, masih minus 8 milyar dollar bagi Amerika Serikat.

Nah, yang mengherankan adalah rencana pembelian Typhoon ini. Tak ada angin, tak ada hujan, Typhoon muncul sebagai kandidat pesawat tempur Angkatan Udara. Merujuk  rencana jangka panjang Kementerian Pertahanan dan TNI, lazim disebut dengan Program Pemenuhan Minimum Essential Force (MEF), yang terbagi dalam 3 tahap, nama pesawat tempur Eurofigther Typhoon, tidak pernah muncul dalam daftar belanja alutsista TNI AU.

Tapi, apapun itu, selagi berita ini masih simpang siur, mari kita coba mengulas apa saja keuntungan dan kerugian membeli pesawat tempur milik Austria ini.

Keuntungan

1. Kemampuan Supercruise

 Akuisisi Typhoon akan membuat di jajaran asset pesawat tempur TNI AU,  untuk pertama kalinya  akan diisi pesawat tempur dengan kemampuan supercruise,  yaitu  kemampuan pesawat terbang mencapai kecepatan supersonic tanpa mengaktifkan afterburner. 

2. Menjaga tingkat kesiapan pesawat tempur TNI AU, sebelum beralih ke KFX/IF.

Sebagaimana diketahui, TNI AU berencana mengganti seluruh pesawat tempur di inventorinya, setelah KFX/IFX resmi beroperasional. Hal  inilah yang mungkin mendasari keputusan TNI AU pada masa  Rezim SBY,  lebih memilih membeli F 16 bekas dengan kuantitas yang banyak alih-alih membeli F16 yang baru sebanyak 8 unit, yaitu tetap menjaga tingkat kesiapan skadron TNI AU, sebelum diganti dengan pesawat tempur KFX/IFX.

3. Efek Kejut

Keberadaan Eurofighter Typhoon akan menciptakan efek kejut di kawasan Asia Pasifik. Untuk diketahui,dari daftar negara yang mempunyai potensi berkonflik  di Laut China Selatan, belum ada satupun negara yang mempunyai Typhoon di inventorinya.  Minimal, kehadiran pesawat tempur ini, sedikit banyak akan merubah konstelasi di kawasan Laut China Selatan.

4. Potensi Tranfers Of Technology

Mengingat hubungan kerjasama erat,  yang sudah  terjalin lama  antara PT. Digantara Indonesia dan Airbus, sebagai salah satu produsen Eurofighter Typhoon, besar  kemungkinan PT. DI akan dilibatkan dalam proses upgrade dan perawatan berkala pesawat tempur ini.


5. Pemberdayaan Skadron 14 TNI

Sejak F5 Tiger dipensiunkan tahun 2016, skadron interseptor ini memang tidak memiliki pesawat tempur.  Kekosongan ini terjadi akibat proses akuisisi Sukhoi SU 35 ( yang memang direncanakan menjadi pengisi skadron ini) yang masih tertunda karena proses imbal beli yang  bermasalah serta ancaman  sanksi dari AS.  Kehadiran Typhoon, akan membuat skadron 14 beroperasi kembali,  berdampak positik  menjaga  kemampuan awak dan pilot di skadron 14.

Kerugian 

1. Commonality

Beban logistik dan pemeliharaan di TNI AU pastinya akan semakin ruwet dengan kehadiran Typhoon. Bagaimana tidak ruwet, sebelumnya saja, TNI AU sudah kerepotan dengan banyaknya variasi  jenis pesawat, mesin dan senjata di inventori TNI AU. 

2. Penambahan Biaya untuk Upgrade

Sebagaimana lazimnya pembelian pesawat bekas, membutuhkan proses rekondisi dan upgrade.  Dan faktanya, spesifikasi pesawat tempur  Austria ini masih generasi awal (trance 1) dengan segala keterbatasannya. Tidak seperti generasi terbaru Typhoon,  Typhoon Austria ini tidak memiliki kemampuan serang darat dan penembakan rudal BVR, demikian juga dengan radar, Trance 1 hanya memiliki radar dengan spesifikasi Pulse Doppler, belum radar AESA, seperti yang tersemat pada Typhoon generasi terakhir. 

3. Biaya operasional yang mahal

Sebagaimana lazimnya pesawat tempur bermesin ganda, Eurofighter Typhoon membutuhkan biaya operasional  sangat besar. Sebagai perbandingan, biaya operasional Sukhoi 27/30 TNI AU, 3 kali lebih mahal, bila dibandingkan dengan biaya operasional F16 yang hanya membutuhkan 5000 s/d 6000 dollar AS/jam terbang. Dengan biaya operasional yang mahal, boleh dibilang pesawat tempur ini tidak efisien untuk dijadikan pesawat patroli seperti F16.

Bagaimanapun juga, keinginan Pak Prabowo membeli Eurofighter Typhoon merupakan angin segar bagi  Indonesia, ditengah banyaknya pengadaan alutsista TNI yang tertunda. Sekedar untuk diketahui, Menteri Pertahanan  sebelumnya, meninggalkan pekerjaan rumah lumayan banyak bagi  Pak Prabowo, antara lain pengadaan satelit militer yang gagal, pembelian SU 35 yang terkatung-katung, kontrak pembelian kapal selam batch 2 yang belum aktif sampai sekarang, ditambah lagi dengan masalah tunggakan dana, keikutsertaan Indonesia, dalam kerjasama pembuatan pesawat tempur KFX/IFX generasi 4.5 dengan Korea Selatan.

Kekurangan kinerja Menhan di periode I Rezim Jokowi memang mengakibatkan mandeknya program MEF tahap 2 dan 3, yang berimbas pada menurunnya kesiapan TNI menangkal ancaman.  

Dengan eskalasi yang memanas di Laut China Selatan dan  konflik yang bisa pecah sewaktu-waktu.  Penting bagi Kemenhan melakukan akselarasi pemenuhan target MEF. Pembelian Typhoon bekas Austria ini  merupakan salah satu solusi percepatan pengadaan pesawat tempur. Karena pembelian pesawat tempur baru, membutuhkan yang cukup lama. Untuk memproduksi 1 unit pesawat baru saja, rata-rata membutuhkan waktu 2-3 tahun.

Semoga pemerintah menemukan solusi terbaik dalam waktu dekat, mengingat situasi yang sudah mendesak, TNI membutuhkan alutsista yang memadai dalam menjaga negeri ini.

Salam 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun