Mohon tunggu...
PMPKL
PMPKL Mohon Tunggu... Buruh - Persatuan Mahasiswa Pemuda Kristen Loloda

Manulis untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merdeka Itu, Nasi. Dimakan Jadi Tai!

3 Agustus 2021   12:10 Diperbarui: 3 Agustus 2021   12:40 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemerdekaan itu nasi. Dimakan jadi tai!
(Wiji Thukul,  Puisi 'Kemerdekaan' --  1982)

 Kemerdekaan  yang diciptakan ini hanyalah merdeka segelintir orang, bukan semua untuk semua. (Tan Malaka, Merdeka 100.persen)


Dalam kutipan puisinya Wiji Thukul pernah meyiratkan tentang hal itu: kini saya mencoba merenungkan di usia 76 tahun kemerdekaan dengan apa yang di sampaikan Wiji Thukul "Merdeka adalah nasi. Dimakan jadi tai!" Sebaris kalimat yang  dapat dinilai, makna yang jorok, atau diluar kaidah sopan santun dalam bertutur secara umum. Tapi, lebih dari itu, puisi itu seperti menemukan sebua tanya yang dalam. Tak ada glorifikasi dalam memaknai kemerdekaan, bagi mereka yang hanya tahu bila perayaan hanya atas seremonial dan berucap selamat kepada sesama, padahal tak mengubah apapun, setelah itu, esok hidup akan berjalan seperti biasa lagi.p
Makna kemerdekaan yang sesungguhnya adalah bahagia dan bebas. Kalau berbangsa merdeka lebih dekat dengan kebebasan. Rakyat merdeka atau bebas dalam segala hal. Tidak hanya merdeka dari penjajahan, tapi juga bebas dalam seluruh aspek kehidupan.


Kini usia 76 tahun dengan slogan Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh. Padahal bukanlah usia yang muda bagi sebuah bangsa yang besar dengan kekayaan yang melimpah.
Apakah tanngguh kerena melihat kematiaan yang berjuta-juta itu?
Apakah tumbuh karena kemiskinan yang melanda pada kehidupan rakyat?

Katanya merdeka sudah 76 tahun tapi berjuta-juta rakyat kita yang kehilangan keluarga tersayang mereka atas pandemi yang tak usai di atasi, atas kelalaian negara.
Katanya merdeka sudah 76 tahun tapi kelaparan kian melanda pada rakyat kita yang kehilangan pekerjaan, kehilangan pendapatan atas larangan negara.
Katanya merdeka sudah 76 tahun tapi kekayaan alam di kuras habis oleh asing. Lalu rakyat kita hanya mendapatkan atas itu dengan penuh keringat dan air mata.


Lalu esensi, substansi, akar, intisari, isi, makna, tujuaan dari merdeka itu apa?
Apakah benar kata Wiji tentang  esensi dari merdeka itu "Nasi di makan jadi tai"?
Apakah benar kata Tan Malaka dalam bukunya Merdek 100persen yang diciptakan itu hanyalah merdeka milik sekelompok orang, bukan milik semua masyarakat Indonesia.
Sebab semua tentang penjajahan masih ada hingga kini. Lalu apa yang mau kita banggakan dengan usia 76 tahun?

Dari kesederhanaan, semua memang akan terlihat jernih dalam memandang. Dalam jarak yang ideal, kita bisa lihat masih banyak hal-hal dari bangsa ini yang  belum benar bisa diselesaiakan secara baik, atau dalam hal ini di-merdeka-kan.
Merdeka, tentu dapat dimaknai dalam skala yang berbeda beda. Bagi mereka yang memaknai nasionalisme dengan dosis tinggi misalnya, merdeka akan selalu seperti itu: slogan menggelora tentang kebangsaan, anjuran bekerja dengan semangat memajukan negeri. Tak lupa dengan heroisme masa lampau guna mengingatkan kembali tentang dedikasi perjuangan para pahlawan---terlebih mereka yang angkat senjata---untuk mengusir para penjajah.
Tapi, jauh dari hinggar bingar itu, tak sedikit orang yang memaknai merdeka dalam skala yang sangat biasa. Merdeka yang sederhana.

REALITA SOSIAL
Dari sekian permasalahan itu, ratusan tahun kemerdekaan yang dilakasanakan setiap tahunnya kemudian menemui pertanyaannya: Bagaimana merdeka mesti kita maknai? 76 tahun hari kemerdekaan, kita masih dilanda kemiskinan, kelaparan bahkan kematian.
Banyak permasalahan yang belum benar-benar dapat dituntaskan oleh para pemangku kebijakan. Pandemi bertahun-tahun, yang tak kunjung usai, kemiskinan bertambah, Pelanggaran HAM, Korupsi, kekacauan elektoral, problem perekonomian, ancaman kerusakan lingkungan serta arogansi negara terhadap masyarakatnya adalah secuil narasi usang yang hingga detik ini masih dapat kita saksikan.


Kemerdekaan nyaris selalu dekat dengan semangat nasionalisme. Keberagamana, kebersamaan menjadi seuatu yang mesti dijaga dan tak bosan dikumandangkan. Tapi, sebelumnya kita menyaksikan pertarungann identitas yang akhir akhir ini semakin menguat. Belum lagi pertarungan politik elit dengan penggunaan isu agama menyeret kita  pada pusaran konflik kebangsaan yang tak bisa dianggap sebelah mata. Dari itu kemudin kita menemui kenyataan bahwa kenyakinan kebangsaan, nasionalisme dan kebersatuan masih terasa rappuh dan mudah digoyah oleh mereka --yang bukan asing---anak negeri sendiri yang tega merelakan kedamaian dan  kesejahteraan untuk kepentingan politik.


Dari sekian potrait kenyataan sosial yang dihadapi masyarakat itu sudah semestinya kita merefleksikanya di tengah riuh rendahnya pekik kemerdekaan yang terus diulang-ulang pada hari kemerdekaan. Tentu hal itu tidak dimaksudkan untuk menyangkal segala pencapaian dan perjuangan yang telah dilakukan para tokoh pendiri bangsa, tapi sudah semestinya kemerdekaan tak hanya berhenti pada nostalgia masa lalu saja. Tapi pekik merdeka mesti dimaknai untuk dekat sekaligus membebaskan atas permasalahan permasalahan rakyat yang dihadapi kini dan nanti. Sebagaimana merdeka yang dulu juga membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial. Dengan begitu, merdeka tak akan seumpama nasi yang dimakan kemudian jadi tai --seperti Wiji Thukul katakan-- yang setelah keluar lalu disiram dan kemudian hilang tak dihiraukan kembali.
Dirgahayu 76 tahun Indonesia, Bangsa yang besar dan bermartabat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun