"Ya Allah, berikanlah kepadaku ketabahan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah, dan hikmat untuk membedakan keduanya" (Reinhold Niebuhr).
"Apa pernah bapak dicap istri sebagai suami tak romantis?"
Begitu penggal pertanyaan bernada kesal dilontarkan seorang bapak, beliau jemaat di gereja tempat saya diundang melayani, hari Minggu pagi, 09/02/200025.
Pertanyaan semacam itu telah beberapa kali saya dengar sebelumnya, baik ditujukan pada saya maupun rekan pendeta yang lain.
Lepas dari benar atau tidak pemberian label tak romantis tadi, si penanya pesakitan terlabel semacam itu biasanya tak hanya datang dari kalangan suami namun juga istri.
"Ah, peduli amat soal romantis, kan kita sudah menikah. Apa lagi yang perlu saya buktikan soal itu?"
Begitu respons si penanya yang ternyata baru menikah lima bulan sebelumnya, saat menanggapi balik candaan saya saat itu ... "Jangan-jangan mungkin benar baginya, Anda nampak kurang romantis!" begitu canda saya.
Tinggalkan cerita kasus bapak berlabel tak romantis sebelumnya, saya ajak Anda untuk melihat persoalan ini dari sudut pandang berbeda!
Begini, seandainya Anda berada di posisi si istri atau suami yang merasa bahwa pasangannya kurang atau tak romantis. Apa yang harus Anda lakukan?
Ya, tentu benar jika mencari jalan keluar bagaimana supaya mereka ditolong bisa bersikap romantis, atau apa yang harus dilakukan supaya mereka bersikap demikian!
Namun ada baiknya kita bicarakan lebih dulu apa pentingnya sikap romantis dalam sebuah hubungan, khususnya pernikahan. Setidaknya menanggapi pernyataan si bapak tadi, "peduli amat soal romantis", sebuah sinyal kurang paham soal ini.