Mohon tunggu...
Donal Moraka
Donal Moraka Mohon Tunggu... Penulis - "Menulislah Agar Kamu Diceritakan Sejarah"

Penulis kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bersyukur Bukan Berarti Diam Ketika Ditindas

16 Februari 2019   16:37 Diperbarui: 16 Februari 2019   16:54 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada masa Yesus dari Nasaret hidup, Yahudi memiliki bentuk-bentuk kekuatan sosial. Penjajah Roma memegang kekuasaan atas tanah dan militer. Kaum Zelot bercita-cita untuk mengusir penjajah dengan alasan religius, yaitu mempercepat datangnya kerajaan Allah. 

Mereka kelompok gerakan revolusioner. Kelompok Herodes berkepentingan melanggengkan dinasti Raja Herodes. Para pegawai negeri yang kehidupan ekonominya terjamin oleh kuasa bait suci dan kuasa penjajah adalah kaum Saduki. Farisi menjunjung tinggi hukum dan tradisi lisan. Sedangkan kaum Esseni meninggalkan rumah ibadat resmi dan hidup di bawah hukum yang ketat serta menantikan akhir dunia.

Kehadiran Yesus mengubah tatanan sosial masyarakat. Kaum Zelot menentang Yesus sebagai raja pembebas seperti yang dinubuatkan Nabi Yesaya. Yesus anak tukang kayu dari Nasaret tidak mewakili gambaran seorang raja pembebas yang ada di benak kaum Zelot. Yesus dianggap menista Taurat yang dijunjung tinggi kaum Farisi. Oleh kerajaan, Yesus adalah pemberontak. Sebagai konsekuensinya, Yesus disalib, suatu hukuman terkutuk saat itu.

Semasa hidupnya, Yesus mengubah tatanan sosial masyarakat yang kuat lagi "seimbang" itu. Dia menerima "pendosa" (pemungut cukai, pelacur, orang Samari). Ia menyembuhkan orang buta, membangkitkan orang mati, mengusir setan, serta berkunjung ke rumah pemungut cukai. Yesus menentang pengilahian kaisar.

Dalam Lukas 14: 26, Yesus sendiri berkata bahwa "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku" Dari nats ini kita boleh mengambil nilai bahwa perlunya membangun komunitas egalitarian atau kesederajatan, di mana ikatan-ikatan primordial menjadi hal yang sekunder. Ide egaliter tersebut yang dibangun Yesus untuk merombak tatanan sosial Yahudi yang cenderung tidak adil. Dengan semangat egaliter, penindasan kolektif bisa dilawan secara kolektif pula.

Gerakan pembebasan berdasar kekristenan (baca: teologi pembebasan) berkembang di Amerika Latin pada abad yang lalu. Ketika itu kemiskinan begitu masif. Gustavo Gutierrez melihat gereja pada umumnya lebih memilih sikap netral terhadap kenyataan kemiskinan. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial yang menjadi tanggung jawab negara. Gereja tidak perlu campur tangan mengenai masalah tersebut. Gereja hanya berupaya sungguh-sungguh menjaga otonominya sendiri. Gereja hanya menangani hal-hal religius belaka, sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan adalah urasan negara (dunia).

Gereja juga menjalin relasi yang erat dengan elite kaya dan berkuasa serta mengambil jarak terhadap kelompok besar umat di belenggu miskin. Sementara itu, elite kaya menggunakan gereja untuk menjaga dan membela mereka. Oleh karena itu, gereja sekadar gereja 'kaum kaya'.

Sikap gereja yang demikian tidak sesuai dengan pemahaman beberapa uskup, termasuk Gutierrez. Seratus delapan puluh uksup Amerika Latin (kebanyakan dari Brazil) berkumpul dan berunding di Medillin, Kolumbia. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan bahwa gereja menyatakan diri untuk "tidak netral". Gereja harus turut membebaskan rakyat dari kondisi ketidakadilan, seperti kemiskinan. Tatanan baru mulai merebak bahwa gereja seharusnya mewujudkan diri dalam memproklamasikan karya penyelamatan (pembebasan) dalam diri Yesus Kristus di tengah-tengah kemiskinan dan penindasan. Gereja 'kaum kaya' harus ditransformasikan menjadi gereja bagi kaum miskin.

Bersama perealisasian gereja untuk kaum miskin, Gutierrez membentuk gerakan pembebasan bagi kaum tertindas. Upaya-upaya penyadaran sebagai sarana penyadaran banyak dilakukan Gutierrez. Pewartaan injil harus mampu untuk menyadarkan rakyat akan situasi mereka yang penuh ketidakadilan dan penindasan sehingga rakyat mau mengadakan pembebasannya sendiri.

Begitu pula dengan konsep Martin Luther king, sekitar Lima ratus tahun lalu pada 31 Oktober 1517, seorang biarawan tak dikenal bernama Martin Luther berdiri di depan sebuah gereja di Wittenberg, kota kecil yang kini masuk wilayah Jerman. Di pintu gereja, ia nekat memaku daftar 95 dalil berisi kritik terhadap otoritas Gereja Katolik. Peristiwa itu dicatat dalam sejarah sebagai awal mula gerakan Reformasi di daratan Eropa dan seluruh dunia yang melahirkan Protestantisme.

Selain itu, Luther mengkampanyekan pendidikan universal untuk anak perempuan dan laki-laki di zaman ketika pendidikan hanya bisa diakses oleh orang kaya. Ia juga banyak menulis nyanyian rohani, traktat, berkhotbah tentang pandangan Reformasi dan melakukan serangkaian perjalanan hingga kematiannya pada 1546.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun