Mohon tunggu...
Donal Moraka
Donal Moraka Mohon Tunggu... Penulis - "Menulislah Agar Kamu Diceritakan Sejarah"

Penulis kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengenal Lebih Dekat Politik Tan Malaka

15 Desember 2018   02:49 Diperbarui: 15 Desember 2018   03:09 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka (Tan Malaka) 

(lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 -- meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun) adalah seorang pembela kemerdekaan Indonesia, tokoh Partai Komunis Indonesia, juga pendiri Partai Murba, dan merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

"Ingatlah, bahwa dari dalam kubur  suaraku akan terdengar lebih keras dari pada di atas Bumi!" ujar Tan Malaka dalam tahanan polisi di Hongkong, seperti yang ditulis-nya dalam autobiografinya, Dari Penjara ke Penjara tahun (1949), yang mengisahkan pengembaraannya selama puluhan tahun menjadi buronan polisi kolonial di berbagai negara sehingga terpaksa berganti-ganti nama dan identitas.

Seakan memenuhi nubuat yang dinyatakannya sendiri, Tan Malaka (1897-1949) yang digelari Bapak Republik Indonesia oleh Muhammad Yamin dan dinobatkan sebagai pahlawan Nasional melalui keputusan Presiden Sukarno pada tahun 1963 kini kembali "bersuara keras" lewat biografi 4 jilid karya sejarawan Belanda Harry Poeza, Di hujat dan dilupakan: Gerakan kiri dan revolusi Indonesia tahun 1945-1949 (terbit antara 2008 dan 2014). 

Tan Malaka alias Ipie___nama panggilan akrabnya semasa muda____yang revolusioner memang kerap menjadi objek penelitian dan penulisan buku. Selain Poeze sejarawan Ceko Rudolf Mrazek juga menulis biografinya yang terbit sebagai Semesta Tan Malaka tahun 1994. Bahkan, kisah hidupnya pernah dinovelkan oleh Matu Mona sebagai Spionage-Dienst: Patjar Merah Indonesia; Tan Malaka:  Petualangan Buron Polisi Rahasia Kolonial (jendral dan KITLV, April 2001). Penulisnya, Matu Mona, adalah nama pena almarhum Hasbullah Parindurie, wartawan dan pengarang Medan yang cukup terkemuka pada masanya.

Roman ini sesungguhnya saduran dari kisah Scarlett Pimpernel karangan Baroness Orczy yang bercerita tentang seorang pahlawan Revolusi Prancis. Yang menarik dari roman Pacar Merah ini adalah adaptasi kisah petualangan sejumlah tokoh historis kita. Kita bisa mengenali karakter-karakter dalam roman ini sebagai tokoh-tokoh kiri radikal dalam peta pergerakan nasional sekitar 1930-an: Vichitra alias Pacar merah jelas mengambil model Tan Malaka, lalu ada tokoh Ivan Alminsky (Almin), Paul Mussotte (Musso), Semounoff (semaun), Darsnoff (Darsono), Soe Beng Kiat (Subakat), dan Djalumin (Djamaluddin Tamim).

Menurut Harry Poeza yang juga penulis biografi 2 jilid Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik (Grafiti, 1999), roman Matu ini merupakan campuran antara sejarah dan khayalan. Buku ini antara lain berisi Kisa cinta Vichitra alias Pacar Merah, seorang patriot Indonesia, dengan gadis Muangthai yang jelita dan cerdas, Ninon Phao, yang berakhir tragis, Pacar Merah terpaksa menolak cinta tulus Ninon yang menggebu-gebu demi cita-cita perjuangannya. Kisah cinta ini dilatari petualangan Vichitra yang melanglang buana sebagai buron politik. Ia berkelana ke berbagai kota, seperti Hawaii tempat ia bertemu pertama kali dengan Ninon, Hongkong, Bangkok, Shanghai, dan Manila, tempat ia mengikuti kongres Pan-Malay. Di Kongres itu, Pacar Merah diakui sebagai pimpinan hebat serta jenius fesih berbagai bahasa. Di sana, ia berseru agar dunia jangan melupakan perjuangan rakyat Indonesia dengan merebut kemerdekaannya.

Cerita Mutu Mona amat berdekatan fakta historis Tan Malaka yang diusir Pemerintah Hindia-Belanda pada awal 1920-an terkait aktivitas politik radikalnya. Kegigihan revolusionernya yang tak surut selama dalam pengasingan membuat ia masuk daftar hitam dinas intelijen pemerintah kolonial di berbagai. Fakta-fakta itu dipakai Mutu Mona sebagai kerangka. Misalnya, tentang kongres Pan-Malay I di Manila, 1932, juga cocok dengan kisah perjuangan Pacar Merah. Namun, buku ini bukanlah roman sejarah layaknya Bumi Manusia (1980) karya Pramono Ananta Toer (1925-2006), melainkan novel populer yang meramu adengan  romantik, kisah petualangan spionase yang menegangkan, dan pengembaraan negeri-negeri serta kota-kota yang jauh dengan ide-ide nasionalisme, Pacar Merah digambarkan lihai menembus daerah perbatasan, visioner, dan penuh pengapian pada cita-cita kemerdekaan tanah airnya. Kemerdekaan itu bahkan lebih penting dari segalanya, termasuk cinta seorang Ninon, gadis manis lulusan sebuah universitas di Paris. 

Ada sebuah anekdot menarik yang pernah ditulis Tan Malaka dalam penjara ke penjara jilid II. Ketika Tan Malaka kembali ke Indonesia secara diam-diam pada tahun 1942, setelah sekitar 20 tahun berpetualang di berbagai negara Eropa dan Asia Timur, ia menemukan buku ini di medan. Konon ia membacanya dengan terheran-heran. 

Tan Malaka yang terlahir dari kalangan bangsawan Minangkabau di Suliki, Sematera Barat, dan jebolan Sekolah Guru di Belanda itu memang kutu buku yang hidupnya tak pernah jauh dari buku-buku. Selain kisah hidup dan perjuangkannya menjadi inspirasi berbagai buku, ia sendiri adalah seorang penulis yang amat tekun dan pemikiran yang tajam serta visioner. Ia menulis risalah politik Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), terbit 1924), juga serangkaian buku tentang strategi perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme yang menguraikan gagasan radikal "Merdeka 100%", antara lain Semangat Muda (1925), Massa Actie (1926), Aslia (Asia dan Australia) Bergabung (1943), Gerpolek (Gerakan Politik Ekonomi) (1948), Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) (1948) yang kerap disebut-sebut sebagai adi-karyanya. Dalam autobiografinya yang telah disebut di muka, Tan Malaka menuliskan pula penyesalannya yang mendalam karena terpaksa membuang dua peti buku-bukunya ke laut di lepas pantai Burma dalam pelarian demi menghilangkan jejak.

Terkait kegandrungannya terhadap buku dan kesadaran literasinnya bahwa membaca adalah jendela utama bagi kemajuan cara berfikir kaumnya, dalam pengantar Madilog yang ditulisnya dalam penyamaran dan situasi amat bersahaja di sebuah gubuk di kawasan Kalibata, Jakarta, ia menyarankan para pembaca buku untuk memperluas cakrawala intelektual mereka. Itu dibuktikannya sendiri saat menulis Madilog. Dalam kepapaan dan kejaran aparat, ia rela mengurangi makan demi mendapatkan referensi untuk penulisan buku itu. Bahkan setiap hari ia bersedia berjalan kaki berjam-jam pulang pergi  dari gubuk sewaannya  di pinggiran Jakarta menuju Perpustakaan Pusat (kini Museum Nasional) di tengah kota untuk membaca dan menyalin buku-buku reverensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun