Mohon tunggu...
Don Zakiyamani
Don Zakiyamani Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi Senja

personal web https://www.donzakiyamani.co.id Wa: 081360360345

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa "Pandemi" Rasisme Masih Berlajut

23 Juni 2020   16:02 Diperbarui: 23 Juni 2020   15:58 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Suarapapua.com

Kasus penyiksaan hingga meninggal yang dialami George Flyod adalah contoh kasus 'pandemi' rasisme masih terjadi. Adanya kelompok manusia yang merasa lebih mulia dari kelompok lainnya sebenarnya bukan hal baru. Dan mengapa 'pandemi' ini masih menular hingga saat ini.

Jika kita membaca tafsir sejarah dunia maupun Indonesia, rasisme memang menular. Di Jerman dulu hadir Nazi yang dipimpin Adolf Hitler. Mereka menganggap ras Arya sebagai ras terbaik. Dengan basis teori Darwin, mereka melegalkan pembunuhan terhadap ras lain. Di Afrika, Nelson Mandela juga melawan rasisme terhadap kulit hitam di sana. 

Di Indonesia, rasisme juga pernah terjadi pada mahasiswa Papua di Surabaya. Dan di sekitar kita rasisme terselubung hingga kini masih terjadi. Peristiwa rasisme di tahun 1998 adalah contoh bagaimana rasisme masih menjadi ancaman bagi kita yang menganut kebinekaan tunggal ika.

Diakui atau tidak, rasisme masih ada di benak kebanyakan manusia Indonesia. Dalam dunia politik hal itu tampak nyata meski tidak terucapkan. Misalnya dalam pemilihan presiden. Penduduk pulau Jawa umumnya akan memilih capres yang bersuku Jawa. Sejauh ini mustahil non-jawa bakal menang dalam pilpres. Bahkan politisi yang menyadari itu, tidak akan mencalonkan diri sebagai capres.

Dan saya yakin hal yang sama terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kalau bukan dari kampungnya, atau bukan dari kecamatannya, seorang calon kepala daerah tidak akan dipilih. Kalaupun dipilih angkanya tidak signifikan. Saya melihat zonasi sekolah yang diberlakukan terhadap siswa juga bagian dari rasisme. Padahal harusnya siswa/i dapat berbaur dengan wilayah yang berbeda.

Harus diakui sikap melihat orang atau kelompok lain memiliki derajat yang sama masih sulit dilakukan sebahagian kita. Di dalam Islam, perbedaan warna kulit bukan alasan seseorang lebih baik dan mulia. Islam malah mengharuskan umatnya menganggap semua suku dan ras sama, yang membedakan hanya ketakwaan seseorang terhadap Allah Swt. Hal itu dipraktikkan Nabi Muhammad saw. ketika mengangkat Bilal sebagai pengumandang azan.

Bilal yang berkulit hitam memiliki kedudukan yang sama dengan para sahabat lain. Bahkan dalam ajaran Islam disebutkan Allah menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa untuk saling mengenal, saling mengasihi, saling menyayangi (QS. Alhujarat:13). Pada saat itu, Islam mulai menghapuskan perbudakan.

Di Aceh, praktik rasisme terlihat jelas ketika konflik GAM-TNI/Polri. Kebencian terhadap suku Jawa berakibat pada pengusiran suku Jawa (transmigran) di Aceh. Tindakan yang dilakukan oknum itu dibalas dengan tindakan yang sama oleh oknum TNI/Polri. Saya menilai konflik di Papua juga dibumbui rasisme yang masih terjadi. 

Dengan menyadari keragaman penghuni Bumi, kita sudah patut menghentikan segala sikap rasisme di atas muka Bumi ini. Kita harus menyadari satu kesamaan kita yang sering dilupakan, kita adalah manusia. Makhluk berpikir yang memiliki kekurangan, setiap manusia memiliki kekurangan. Tidak ada yang sempurna, tidak ada ras paling unggul.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun