Mohon tunggu...
Don Zakiyamani
Don Zakiyamani Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi Senja

personal web https://www.donzakiyamani.co.id Wa: 081360360345

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kritik Boleh, Menghina Jangan

5 Juni 2020   11:53 Diperbarui: 5 Juni 2020   12:00 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alam demokrasi yang baru beberapa tahun dirasakan bangsa ini sering disalah maknai. Kebebasan yang menjadi salah satu cirinya kerap disalah kaprahi. Akibatnya sering pula kebablasan dalam merespon sesuatu. Ingin memperbaiki namun malah menambah kerusakan. Dan bangsa ini keseringan lari di tempat. Begitulah pandangan saya melihat fenomena Indonesia pasca reformasi.

Ibarat anak kecil yang biasa terkurung, dilarang bicara dan larangan-larangan laiinya. Bangsa Indonesia tiba-tiba diberi kebebasan seluasnya sehingga sering kali salah memahami makna kebebasan berpendapat. Paling sering kita saksikan kelakuan itu ketika masa pilpres maupun pilkada. Bahkan setelah proses pesta demokrasi selesai kita tetap menyaksikan kebebasan yang salah kaprah.

Banyak kita temukan kebebasan berpendapat dimaknai kebebasan menghina. Kritik dalam demokrasi merupakan hal wajar bahkan sebuah keharusan agar objek yang dikritik tetap fokus pada tujuan, tidak menyelewengkan wewenang dan kekuasaan. 

Kritik merupakan budaya cerdas yang harus dibangun agar kita terhindar dari feodalisme, kekakuan berpikir, fanatik, serta tidak mampu melihat peluang.

Namun demikian, masih saja kita saksikan di antara kita yang belum paham dengan kritik. Akibatnya menyamakan kritik dengan hinaan. Paling sering kita saksikan hinaan dengan gambar dan  foto yang diedit. Kelakuan itu telah merusak jiwa bangsa ini. 

Hinaan fisik, agama, suku, paling sering saya saksikan di media sosial terhadap elit politik yang tidak disukai. Sementara subtansi yang dikritik malah diabaikan. Ternyata kritik itu bukan perkara mudah. Buktinya tak banyak yang mampu kritisi pemerintah melalui analisa yang tajam.

Karena tak mampu beragumen dengan baik, kritik berubah menjadi hinaan. Saya melihat itu sebagai gap literasi, kekurangan bacaan memadai dan kelebihan kemarahan. 

Demokrasi dan kebebasan dipahami sebagai kebolehan menghina seenaknya saja. Akibatnya, banyak netizen yang tersangkut kasus hukum. UU ITE yang dianggap pasal karet dengan mudah menjerat mereka-mereka yang dianggap menghina.

Ternyata, bukan hanya netizen yang sulit membedakan kritikan dan hinaan. Aparatur negara terkadang juga sulit membedakannya. Sehingga orang-orang yang kritis malah masuk penjara, sementara para penghina masih bebas melakukan hinaan. 

Kritik terhadap otoritas terkadang dimaknai sebagai hinaan sementara hinaan terhadap mereka yang kritis dianggap kritik. Kesalahpahaman itu masih berlangsung, memengaruhi makna kritik dan hinaan. Satu hal yang harus kita sepakati di era kebebasan berpendapat hari ini; kritik yes hina no. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun