Diakui atau tidak, pemilu 2019 merupakan produk sensasi elit politik. Dua lembaga politik (eksekutif dan legislatif) menjadi tokoh utama dalam kisah pemilu serentak kali ini.Â
Mereka ingin dianggap keren atau sebutan lainnya, mereka begitu bersemangat berkhutbah di televisi maupun media massa lainnya ketika bicara soal pemilu serentak. Ternyata omongan mereka tidak didahului dengan dalil ilmiah.
Elit politik yang berkompromi soal pemilu serentak miskin dalil. Mereka tidak pernah mendengar langsung bagaimana kondisi petugas KPPS pada pemilu sebelumnya. Dan dengan birahinya, para elit kemudian mengumumkan pemilu 2019 dilakukan serentak. Dan hari ini kita bisa saksikan bagaimana pemilu serentak menyerang petugas di lapangan.
Setahu saya, honor mereka juga tidak lebih banyak dari pemilu sebelumnya. Padahal secara kewajiban lebih berat, namun begitulah taqdir rakyat yang selalu jadi korban elit politiknya.Â
Pemerintah dan DPRRI 2014-2019 adalah aktor utama pemilu serentak. Mereka kini tercatat dalam sejarah bangsa ini sebagai elit politik yang membahas dan memutuskan pemilu serentak itu.
Sah-sah saja pemilu serentak dilaksanakan namun sebaiknya jangan dilakukan sehari. Pelaksanaan dapat dilakukan seminggu nyoblos dan seminggu penghitungan suara.Â
Dengan demikian petugas bisa bekerja lebih manusiawi. Kalaupun ingin tetap dilaksanakan sehari maka solusinya kita menggunakan e-voting. Ketika di luar negeri pemilu dilakukan selama seminggu mengapa didalam negeri tidak.
Menurut saya dua hal itu yang bisa dilakukan apabila kita tetap ingin pemilu serentak. Kalaupun dipisahkan pilpres dan pileg, khusus pileg sebaiknya juga jangan sehari dilaksanakan. Kalau alasan efisiensi seharusnya bukan pemilu serentak solusi. Namun menggunakan e-voting, selain efisien juga meminimilasir kecurangan.