90 persen lembaga survei memang menyatakan Jokowi-Ma'ruf unggul atas lawannya Prabowo-Sandi. Namun angka belum menentukan pilihan (undecided voters)Â masih cukup tinggi. Itu artinya kemungkinan apapun masih bisa terjadi, termasuk kalahnya Jokowi-Ma'ruf. Dalam survei litbang KOMPAS malah angka Jokowi belum mencapai 50 persen sehingga bagi petahana angka itu belum aman.
Indikator lainnya, berdasarkan survei pendukung Prabowo-Sandi juga lebih militan ketimbang pendukung Jokowi-Ma'ruf. Barangkali karena banyak relawan Jokowi-Ma'ruf yang kini sudah berada di ruangan ber-AC. Pada 2014 mereka masih jadi relawan namun saat ini sudah jadi bos karyawan.
Lontaran propaganda tim Jokowi-Ma'ruf soal pertarungan pilpres merupakan pertarungan ideologi Pancasila dan khilafah juga telah terbantahkan. Isu Islam radikal berada di kubu Prabowo dengan sendirinya juga terbantahkan dalam debat keempat yang lalu. Isu infrastruktur yang coba dikampanyekan tim Jokowi-Ma'ruf juga tidak berimbas pada elektabilitas mereka.
Kini, usaha melalui ASN atau polri untuk membantu Jokowi-Ma'ruf juga mulai mental. Pengakuan seorang mantan Kapolsek yang dipaksa Kapolres untuk memenangkan Jokowi-Ma'ruf seolah membuka aib mereka sendiri. Meski Kapolsek kemudian mencabut laporannya namun rakyat tidak mudah dibodohi. Sebelumnya beredar pula percakapan di WAG para polisi yang mengindikasikan mereka mendukung Jokowi-Ma'ruf.
Lagi-lagi kasus ini sudah tenggelam, tapi tidak semua rakyat lupa. Rakyat semakin yakin ada konspirasi yang bakal menciderai demokrasi. Akibatnya, kemenangan Jokowi-Ma'ruf yang harusnya mulus bisa terganjal. Jokowi-Ma'ruf bisa bernasib sama seperti Megawati. Petahana yang dikalahkan SBY pada pilpres 2004.
Prabowo-Sandi juga masih memiliki senjata pamungkas. Habib Rizieq bisa menggerakan massa militan untuk mendongkrak suara Prabowo-Sandi. Karenanya Jokowi-Ma'ruf harus waspada sampai detik terakhir. Meski unggul disegala lini namun pertandingan belum usai bahkan baru saja dimulai. Undecided voters yang angkanya tinggi tersebut bisa jadi para Pegawai Negeri Sipil, BUMN, keluarga TNI/Polri, yang mana mereka masih enggan mengatakan pilihan karena ada penguasa yang ikut nyapres.
Itu artinya bila mereka mayoritas memutuskan mendukung Prabowo-Sandi maka kekalahan Jokowi bukan sebuah kemustahilan. Jokowi-Ma'ruf boleh saja senang dengan hasil survei namun mereka harusnya tak lupa dengan kejadian pilkada DKI Jakarta. Anies-Sandi bahkan dipresdiksi bakal kalah seminggu sebelum pemilihan. Semua lembaga survei sangat yakin Ahok-Djarot bakal menang namun faktanya mereka kalah jauh dari Anies-Sandi.
Saya yang terlibat langsung dalam pilkada DKI melihat langsung bagaimana kemenangan Anies-Sandi sudah dapat dipastikan bahkan sebelum TPS ditutup. Sebabnya para pendukung Ahok-Djarot menggunakan simbol mereka setelah mencoblos. Sama halnya bila Jokowi menginstruksikan menggunakan baju putih saat datang ke TPS. Entah apa yang terjadi pada baju kotak-kotak, Jokowi malah gunakan baju putih.Â
Politik simbolistik seolah memberi pesan bahwa Jokowi risau dengan pengkhianatan. Ia ingin kepastian sehingga menginstruksikan menggunakan baju putih. Tentu saja unsur kerahasiaan bisa tercoreng. Para Pegawai Negeri Sipil yang takut dimutasi atau dikenakan sanksi bakal menggunakan baju putih. Tapi hasil di TPS belum tentu sesuai dengan baju yang digunakan.Â
DiJogjakarta Jokowi juga tampak emosi. Padahal berdasarkan lembaga survei ia unggul. Tampak ada kepanikan Jokowi setelah mengetahui fakta yang sebenarnya. Elektabilitasnya tak sehebat 'lukisan' lembaga survei yang disewanya. Lumbung suara di Jawa Tengah juga tak sehebat dulu, bila angka Jawa Tengah berimbang maka Jokowi bisa kalah. Di daerah lain perolehan suara pilpres tidak akan jauh berbeda, itu artinya Prabowo-Sandi bakal memulangkan Jokowi ke Solo.