Mohon tunggu...
Don Zakiyamani
Don Zakiyamani Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi Senja

personal web https://www.donzakiyamani.co.id Wa: 081360360345

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Koruptor Juga Teroris

17 Maret 2019   15:52 Diperbarui: 17 Maret 2019   16:00 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Twitter @MRomahurmuziy

Ketika kompasiana.com menyajikan topik pilihan tentang terorisme sebenarnya saya ingin terkejut. Saya terkejut karena kenapa setelah aksi kriminalitas di Selandia Baru kompasiana baru berinisiatif begitu. Padahal selama ini di tanah air sudah sering kita dapati terorisme. Bahkan menggunakan aturan-aturan yang berbau tirani.

Sebut saja UU ITE yang sangat menakutkan itu, sebuah regulasi yang tentunya paradoks dengan alam demokrasi. Negara menjadi sesuatu yang menakutkan bagi rakyat dalam berekspresi. Baiklah, saya tidak akan bahas regulasi tersebut, pasalnya, tulisan kritis dianggap pendukung capres nomor urut dua.

Dalam tulisan ini saya ingin bertanya pada diri sendiri maupun pembaca, benarkah aksi Selandia Baru aksi teror atau hanya kriminalitas. Baiklah, kalau kita sepakat itu aksi teror berarti teror belum tentu didahului ancaman. Bisa terjadi tanpa ancaman namun memakan korban jiwa. 

Apakah kemudian teror tersebut harus dengan senjata berapi, tajam, maupun bom? Bila iya, maka aksi Simpang KKA Di Aceh Utara maupun pesantren Tgk. Bantaqiah dapat digolongkan teror meski pelakunya aparat negara?

Sampai di sini akan muncul khilafiyah, ada pendapat siapapun bisa menjadi teroris asal ada peneror dan yang diteror, tidak terkecuali Presiden maupun para pembantunya. Pendapat kedua mengatakan bahwa aparatur negara tidak bisa dikategorikan teroris karena melaksanakan tugas negara. 

Kalaupun ada korban itu hanya kesalahan manusia di lapangan. Lalu bagaimana dengan regulasi yang menakutkan warga negara maupun kelompok tertentu. Misalnya jika negara menerapkan syariat Islam dan yang tidak beragama merasa takut, apakah hal itu termasuk teror yang dilakukan negara?.

Lagi-lagi polemik terjadi, debat panjang terus terjadi. Saya coba samakan persepsi, entah setengah memihak atau tidak, menurut saya, terorisme paham yang memberi rasa takut, baik dilakukan berkelompok maupun tidak. Belum ada kesepakatan, apakah korban teror harus meninggal atau tidak, yang pasti aksi tersebut menakutkan. 

Pada akhirnya masing-masing memiliki definisi sendiri, apa itu teror. Barangkali ada yang takut suami/istri, sehingga kekerasan didalam keluarga jarang dilaporkan. 

Bahkan kaum Atheis menganggap orang yang bertuhan itu dalam sedang diteror Tuhan. Katanya ada diantara kita beragama karena takut ancaman Tuhan berupa neraka. Bagi mereka Tuhan adalah teroris, pelaku teror terhadap manusia. Demikianlah varian pemahaman akan teroris. Sehingga makna teror tidak bisa didominasi satu negara maupun kelompok tertentu karena luasnya makna kata teror. Amerika Serikat tidak boleh seenaknya mendefinisikan kata teror dan mengklasifikasikan terorisme menurut mereka. Demikian pula dengan negara maupun media di negara ini.

Ketiadaan persamaan pendapat inilah yang membolehkan saya menganggap koruptor sebagai teroris. Apa yang dilakukan koruptor menurut saya sangat menakutkan apabila kita mau teliti. Ketika uang rakyat diambil, bukan hanya kerugian keuangan. Dampaknya sangat luas, misalnya uang yang harusnya bisa mengubah angka pengangguran di negeri ini namun dikorupsi. Uang yang harusnya untuk bangun sekolah atau peningkatan mutu guru namun dikorupsi. Dampaknya, gak usah 100 orang, satu orang saja menjadi kriminal bisa sedunia ini geger seperti di Selandia Baru.

Bayangkan bila angka kriminal meningkat, manusia Indonesia senang membunuh karena itu cara cepat dapat uang maupun kepuasaan bathin. Apakah para koruptor dalam hal ini tidak salah? Apakah mereka tidak boleh disebut terorisme meski korban jiwa tidak langsung terjadi saat ia korupsi. Bayangkan berapa banyak anak-anak kurang gizi, bayangkan berapa banyak anak-anak tidak bersekolah. Apakah para koruptor tidak berandil disitu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun