Mohon tunggu...
Wimpie Fernandez
Wimpie Fernandez Mohon Tunggu... Penulis - Tak harus kencang untuk berlari

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buat Apa Hidup Kalau Tidak "Berjudi"

11 Januari 2019   15:12 Diperbarui: 11 Januari 2019   15:18 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waduh enak ya kerja di kantor pemerintah. Siapa yang memasukkan?. Sudah pegawai tetap atau masih tenaga kontrak. Tuhan punya rencana meletakkanmu disana. Jalani saja dulu, siapa tahu ada pengangkatan. Kalimat-kalimat klasik kerap dilontarkan setiap orang yang acapkali bertemu denganku. Sedikit enak didengar, tapi lebih banyak jengkelnya.

Berhasil menyandang sarjana, Aku mulai memasuki babak baru yakni dunia pekerjaan. Berkat bantuan kawan di bangku perkuliahan, aku bekerja di salah satu instansi pemerintah sebagai penulis. Lingkungan pekerjaan yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan ideologi maupun cara pandangku. Namun, aku mencoba untuk sedikit menyingkirkan perspektif dengan berpikir bahwa kehidupan harus dilihat dari banyak sisi. Tidak cukup satu saja.

Siang itu udara terasa panas. Pendingin ruangan di rumah harus kunyalakan. Kuminum kopi sembari menatap layar komputer mencari dan melihat berbagai lowongan pekerjaan. Asik menikmati hidup, telepon genggamku berdering. Sahabatku menelpon. Aku hafal betul apabila Ia menelpon di jam-jam kerja. Pasti menyampaikan informasi yang penting. Kutekan tombol hijau. Terdengar suara cempreng dari seberang, "Bung, kamu diterima di surat kabar itu"? Tidak. Sekarang aku sedang mencari," sahutku. Ini ada lowongan, kalau berminat segera kirim CV ke alamat email yang akan kukirimkan. Mendengar penjelasan secara singkat job desk pekerjaan, aku mengiyakan tawaran tersebut. Perbincangan berakhir.

Tiga hari setelah mengirim CV, ada pesan masuk dari calon tempat kerjaku yag meminta agar aku datang untuk melakukan interview. Pagi itu, aku tampil sederhana tapi rapi. Berbusana kotak-kotak dipadu celan jeans biru dongker dan sepatu kets. Setelah semuanya beres, kumantapkan langkah menuju kantor pemerintah.

Pagi itu arus lalu lintas terlihat lengang. Tak banyak kulihat kendaraan seperti biasanya. Hanya tukang sapu jalanan dan seesekali menemui pemuda berdiri di tiap-tiap persimpangan jalan. Tak sulit bagiku menemukan kantor itu. Memastikan kondisi kendaraan terparkir dengan aman, kulangkahkan kaki dengan penuh keyakinan. Situasi asing sungguh terasa dalam diriku. Ketika langkah kaki masuk ke dalam pintu, semerbak aroma wangi parfum mahal menusuk hidungku.

Aroma kopi dan kepulan asap menyapaku pagi itu. Orang-orang berseragam coklat tua mondar-mandir kesana kemari. Ada yang duduk-duduk bercengkerama sambil menyulut sebatang rokok. Ada yang membaca koran. Ada yang sibuk menghadap laptob mengetik artikel bahkan mengedit foto. Cukup beragam orang-orang disana.

Tiba-tiba... "Selamat pagi, mau interview kerja sebagai penulis"? tanya seorang petugas keamanan?

"Ya betul" timpaku.

Mari silahkan masuk mas. Tunggu disini. Kesan pertama yang cukup ramah. Namun, di otakku menggelora hidup rakyat kecil utamanya mereka yang tertindas!. Entah mengapa itu terniang dalam benakku. Aku duduk sambil melihat sekeliling ruangan. Tumpukan arsip, komputer, buku dan kertas-kertas cukup tertata dengan rapi. Tak lama, masuk dua orang. Laki-laki berambut klimis berkacamata dan perempuan paruh baya bertubuh mungil memakai jilbab. Semuanya menggunakan seragam berwarna coklat.

Keduanya duduk. Ngobrol basa-basi sedikit lalu 'memberondong' beberapa pertanyaan seputar dunia kepenulisan padaku. Mengambil posisi duduk senyaman mungkin, aku menjawab satu per satu pertanyaan dari kedua abdi negara itu setenang mungkin. Satu setengah jam bercengkerama, mereka memintaku keluar dari ruangan.

Waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB. Lelaki yang baru saja diangkat menjadi abdi negara memintaku kembali masuk. Atas pertimbangan kami berdua, maka panjenengan diterima di instansi ini sebagai penulis. Besok sudah bisa bekerja. Mendengar itu, hatiku senang sekali. Kujabatkan tangan kepada mereka, sebagai bentuk penghormatan sekaligus ucapan terima kasih. Lalu Aku pamit pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun