Mohon tunggu...
Doly Fillamenta
Doly Fillamenta Mohon Tunggu... Musisi - sediakanlah waktu untuk bersenang-senang

saya adalah seorang penulis, peneliti, komposer, arranger, violinist, saxophonist dan flutist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eksistensi: Esoterik dan Transendental

22 Januari 2021   09:30 Diperbarui: 22 Januari 2021   09:33 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kita mengatakan "Engkau mengenai tangan dari sang pemilik"... Secara figuratif seniman meninggalkan pada anak-cucu bekas dari tangannya. Ia mengalihkan sebagian dari dirinya pada benda, membuatnya tampak, dan memberinya eksistensi yang terpisah dari dirinya".

(Pembuka dari Bab I: 'Akar-akar Prasejarah', Claire Holt, Art in Indonesia, Continuities and Change, Cornell University Press, 1967)

Permasalahan keberadaan, ke-menjadi-an, atau eksistensi.adalah suatu hal yang inheren dalam berkesenian. Hal ini juga telah menjadi sebuah subjek favorit dalam seni kontemporer. Seni pun dianggap sebagai salah satu sarana paling jitu untuk manifestasi keresahan, pencarian atau pertanyaan akan keberadaan tersebut. 

Bagaimana keberadaan ini direpresentasikan pada kecenderungan-kecenderungan praktek seni (rupa) sekarang menjadi satu hal yang menarik yang sedikit banyak berakar pada kredo seni modern itu sendiri yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai ragam implementasi penandaan, pengolahan estetika dan substansi karya seni rupa.

Modernisme adalah sebuah ideologi yang mendominasi dan merasuk sampai ke pembentukan pola hidup dan budaya masyarakat global sepanjang abad 20. 

Mimpi besarnya adalah kemerdekaan individu untuk mencapai kondisi paripurna dan mandiri dari kelemahan dan ketergantungannya kepada hal-hal 'hakiki' seperti kuasa alam, tubuh dan juga konstruksi-konstruksi primordial yang sebelumnya berlaku. 

Keberadaan subjek adalah suatu hal yang sakral karena dengan modernisme, sempat hadir suatu harapan besar bahwa manusia dapat seperti yang terrumuskan pada pembedahan subjektivitas atau subjectivity seperti yang beberapa kali dipermasalahkan dalam wacana eksistensialisme.

Subjectivity atau subjektivitas menekankan penolakan terhadap konsep Cartesian akan cogito (human mind) sebagai sebuah pusat kendali sentral di mana kemudian makna terhasilkan. 

Singkatnya, subjectivity mencoba untuk melihat bagaimana manusia terbentuk sebagai subyek, sebuah sudut pandang untuk mengetahui bagaimana identitas terbentuk dengan mengakui peran wacana, pengetahuan, sejarah dan konstruksi-konstruksi lain di dalamnya, yang tak terkontrol oleh si subyek itu sendiri. 

Dalam perspektif ini, subyek terkungkung dengan konstruksi-konstruksi yang telah ada namun sekaligus juga selalu terbuka dengan transformasi dengan semakin ia meleburkan diri dengan dunia luar, dan proses transformasi dalam diri subyek yang tak berkesudahan inilah yang akhirnya membuat perbedaan masing-masing subyek. Seperti halnya makna yang selalu bergeser dari tandanya, begitu juga manusia sebagai subyek.

Dalam konteks Indonesia, kredo modernisme selalu berbenturan dengan primordialisme yang berakar pada masyarakat Indonesia yang bagaimana pun tak dapat serta-merta lepas dari pola kehidupan agrikutural dan komunalnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun