Dunia pendidikan spesialis tengah dihebohkan dengan berita mengenai Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Program pemerintah untuk mengirim dokter spesialis fresh graduated ke daerah menuai pro dan kontra sejak awal diluncurkan program ini.Â
Pro dan kontra memang selalu ada tidak hanya berkaitan dengan program WKDS ini, sebelumnya program pengiriman dokter PTT dan program dokter internship (mengirim dokter ke daerah) Â juga juga menuai pro dan kontra.
Pemerintah tentu punya dasar kuat, karena pada kenyataannya Indonesia masih kekurangan sekitar 4.000 dokter spesialis terutama dokter spesialis dasar : spesialis anak, spesialis obtetri ginekologi, spesialis penyakit dalam, spesialis anestesi dan spesialis bedah.
Menteri Kesehatan RI Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, SpM pernah memaparkan kurang meratanya sebaran tenaga dokter spesialis ini saat membuka Kongres Obstetri Ginekologi (KOGI) 2015 di Bandung. Di akhir sambutan beliau menyampaikan "Ada seribu dokter spesialis di kota jakarta, namun tidak ada dokter spesialis satu pun di kepulauan seribu".Â
Ini sebuah auto kritik, yang mana pada kenyataannya sebagian besar dokter spesialis menikmati nyamannya ruang praktek di kota besar, sementara itu bayak daerah di luar jawa yang sangat kekurangan sentuhan ahli dokter spesialis. Ada cukup banyak RS di luar jawa yang harus 'mengemis' ke kampus ternama agar supaya ada dokter spesialis yang mau ditempatkan di daerahnya. Â
Program WKDS diharapkan mampu menambal kekurangan dokter spesialis di daerah yang membutuhkan. Tujuan baik ini bukan tanpa halangan, dua bulan setelahnya, Â pada 29 Maret 2017 Komnas HAM menerima pengaduan dari sejawat dokter yang tergabung dalam Komite Naasional Kesehatan dan Perkumpulan Dokter Indonesia bersatu (PDIB).Â
Pada 17 April 2017 Komnas HAM menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri Kementrian Kesehatan RI, Kementrian Hukum & HAM RI, Kementrian Riset Teknologi & Pendidikan Tinggi RI, Majelis Pembina Kesehatan Umum, PP Muhammadiyah, Ketua Komite Nasional Kesehatan dan Ketua Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu. Dan pada 15 Juni 2017 Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi WKDS perlu dievaluasi dan atau direvisi karena diduga melanggar HAM dan Konvensi ILO.
Pada 18 Desember 2018 MA mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden no. 4 th 2017 tentang WKDS. Salah seorang sejawat dr. Ganis Irawan menggugat bahwa pengiriman dokter spesialis ke daerah, melanggar hak asasi manusia. Menurut dr. Ganis menyebut WKDS sebagai kerja paksa.
Menurut hemat saya, masyarakat di daerah terpencil sangat-sangat membutuhkan dokter spesialis. Ini bukan persoalan HAM, ini bukan persoalan ketidakpercayaan pemerintah terhadap produk kampus atau rumah sakit yang mencetak dokter spesialis sehingga harus praktek ke daerah terlebih dahulu.Â
Malahan logika memakai HAM untuk menggugat WKDS rasanya sangat absurd. Mestinya pasien di dearah yang  menuntut dokter ahli untuk datang memberikan pelayanan ke daerah.Â
Namun yang namanya pasien di daerah tidak mengerti sebagaimana kita yang sangat intektual, bila ada aturan perundang-undangan dianggap kurang sesuai bisa mendabat mahkamah konstitusi. Pasien atau rakyat di pedalaman mengadu kepada siapa?