Belum lama ini, Badan Karantina Indonesia (Barantin) bersama Ikatan Dokter Hewan Karantina Indonesia (IDHKI), Asosiasi Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner Indonesia (AEEVI) serta Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) meluncurkan kampanye Antiperdagangan dan Lalu Lintas Ilegal Hewan. Kampanye dilakukan karena perdagangan hewan dan lalu lintas hewan ilegal di Indonesia masih marak terjadi.
Sebagai masyarakat, upaya Barantin bersama stakeholder ini tentu patut kita dukung, terlebih, persoalan perdagangan dan lalu lintas hewan secara ilegal dapat berdampak negatif bagi bangsa dan negara kita.
Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati saat ini sedang menghadapi tantangan serius dari perdagangan hewan dan lalu lintas hewan ilegal. Praktik ini tidak hanya mengancam kelestarian satwa, tetapi juga membawa dampak yang luas terhadap ekosistem, ekonomi, kesehatan, dan masyarakat.Â
Menurut penulis, setidaknya terdapat tujuh dampak strategis dari perdagangan hewan dan lalu lintas hewan ilegal di Indonesia:
Pertama, Kerusakan Ekosistem dan Ancaman Kepunahan.
Perdagangan ilegal hewan, terutama hewan dilindungi telah menyebabkan kerusakan ekosistem yang signifikan. Menurut ProFauna Indonesia, lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar domestik berasal dari alam, bukan hasil penangkaran. Hal ini mengakibatkan penurunan populasi satwa liar, seperti burung kakatua jambul kuning, harimau Sumatera, dan gajah Borneo.Â
Selain itu, pelepasan satwa yang disita ke habitat yang tidak sesuai, dapat menyebabkan gangguan ekosistem, seperti munculnya spesies invasif. Spesies ini dapat tumbuh dan berkembang biak dengan cepat, mengalahkan spesies asli dan mengubah ekosistem.
Kedua, Dampak Ekonomi
Perdagangan dan lalu lintas hewan secara ilegal, khususnya satwa dilindungi merupakan bisnis bernilai tinggi, dengan estimasi peredaran uang mencapai 7,8 hingga 19 miliar dolar Amerika per tahun.Â
Namun, keuntungan ini hanya dinikmati oleh segelintir pelaku kejahatan, sementara negara kehilangan potensi pendapatan dari sektor konservasi dan pariwisata. Kerugian negara akibat kejahatan ini diperkirakan lebih dari sembilan triliun rupiah per tahun. Belum lagi, kerugian pada peternak dan nelayan budidaya. Karena biasanya, pemasukan hewan ilegal (tanpa dokumen), terutama hewan ternak untuk kurban, biasanya harganya menjadi relatif lebih murah. Sehingga dapat merusak harga pasar lokal yang merugikan peternak lokal.