Mohon tunggu...
Farhandika Mursyid
Farhandika Mursyid Mohon Tunggu... Dokter - Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Penulis Buku "Ketika Di Dalam Penjara : Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi" (2017), seorang pembelajar murni, seorang penggemar beberapa budaya Jepang, penulis artikel random, pencari jati diri, dan masih jomblo. Find me at ketikanfarhan(dot)com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Ini, Mungkin Aku Mati

26 Desember 2020   20:29 Diperbarui: 26 Desember 2020   20:53 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: koleksi pribadi

Hari ini, tepat tanggal 26 Desember. Orang-orang masih menikmati masa cuti bersama. Meskipun, aku sendiri bingung, bagaimana orang dengan sebebasnya pulang tanpa memikirkan fakta bahwa pandemi ini semakin parah tak terhenti. Sedangkan aku sendiri, masih di sini, tinggal bersama Ibu, dan bertahan di tempat kerja, semuanya di Jogja. Ingin sekali bagi kami untuk pulang kampung sejenak melepas penat, tapi apa daya, kami dan Bapak tinggal di beda pulau. Aku dan Ibu di Pulau Jawa, Bapak di Pulau Sumatera, kami tidak diizinkan untuk pulang, dan itu juga berlaku saat Idul Fitri dan Idul Adha. Sebuah selebrasi yang biasanya dilakukan dengan keluarga tercinta secara langsung, sekarang hanya lewat video call belaka.

Aku pun mencoba mengalihkan rasa kesal ini untuk menyibukkan diri di tempat kerja. Namun, apa daya, pikiranku juga sedang tidak baik di sana. Bukan karena aku membenci pekerjaanku, tapi aku hanya kurang motivasi untuk mengerjakan apapun hari itu. Aku sempat kehabisan inspirasi untuk menulis di situsnya kantor, dan juga mengurusi beberapa rencana untuk kantor nantinya, namun, ya tetap saja, aku bingung mau seperti apa. Hingga, beberapa hari terakhir ini, aku habiskan jatah soreku untuk mengendarai motor keliling Jogja, ya meski ujung-ujungnya berada di rute yang itu-itu saja. Tapi, meskipun berbagai cara aku lewati, aku masih mencoba mencari inspirasi untuk bekerja.

Hari ini, tepatnya di sebuah siang, aku mulai mencoba cari ide kerjaan yang bisa dilakukan, ya, setidaknya sebelum laporan bulanan kembali menerpa. Aku coba telusur beberapa ide, dan entah kenapa, aku tiba-tiba teringat akan sebuah kejadian yang terjadi di tanggal 26 Desember ini. Bukan sebuah tanggal jadian, ataupun tanggal aku ditolak gebetan, melainkan tanggal dimana aku dinyatakan akan meninggal. 

Bagi yang masih berpikir, ini bukan vonis dari dokter yang menyatakan aku terkena kanker, ataupun prediksi dari peramal yang muncul di Internet. Tanggal ini berawal dari sebuah mimpi buruk yang terjadi sekitar 15 tahun lalu. Di dunia mimpi itu, aku sedang asyik membaca sebuah buletin dakwah yang biasanya dibagikan sebelum adzan Jum'at. Aku baca dengan khidmat, kata per kata aku resapi, dan ketika sudah sampai di halaman terakhir, aku mendapatkan sebuah pesan yang cukup menohok, di situ tertulis...

"Seorang bernama Handika akan mati tanggal 26 Desember.."

Sontak, aku langsung terbangun dan mulai kepikiran apakah memang tanggal segitu aku akan mati. Padahal, waktu itu, mimpi itu terjadi pada bulan April, namun aku selalu kepikiran tentang kematian. Apakah memang benar aku akan mati atau gimana pada tanggal itu? Aku sangat takut sekali membayangkan itu, apalagi dengan fakta bahwa aku harus tidur dibungkus dengan kain kafan, dan dipendam di bawah tanah sendirian. Aku membayangkan bagaimana rasa sepi yang harus aku alami karena kematian itu.

Membayangkan itu justru membuatku menangis tersedu-sedu. Aku masih ingin hidup di dunia ini, setidaknya menikmati indahnya main game di PlayStation, menonton kartun favorit di hari Minggu, atau membeli lotek kesukaan di dekat rumah. Berat sekali membayangkan itu terjadi. Aku pun juga membayangkan perasaan orang tua jika anak yang selama ini sudah mereka besarkan harus berpulang lebih dulu ke Tuhan. Pasti akan sendu sekali rasanya. 

Waktu itu, Ibuku menenangkanku dengan beberapa pernyataan seperti "Hidup dan Mati itu di tangan Tuhan, jangan percaya sama mimpi buruk itu", hingga "Biasanya jika orang baik, Tuhan pasti akan melapangkan kuburnya dan kamu ga akan merasa sendiri di sana". Aku pun mencoba untuk menenangkan diri pelan-pelan. Hingga, beberapa tahun setelahnya, aku mulai tidak takut akan tanggal 26 Desember itu, dan aku jalani hidup sebagaimana mestinya, seperti apa yang aku lakukan sekarang ini, di meja kantor tempat aku mencoba mencari inspirasi akan pekerjaan ke depan.

Mengenang kejadian itu membuatku merenung akan bagaimana berubahnya sikap aku akan kematian seiring berjalannya waktu. Sebagai salah satu penyintas depresi, aku sempat berpikir akan indahnya jika aku tidak ada lagi di dunia, pikiran seperti itu sempat terjadi waktu 3 tahun yang lalu. Waktu 12 tahun memang bukan waktu yang terlalu cepat, tapi setidaknya waktu seperti itu memang menandakan bahwa kita sebagai manusia sudah berubah karena usia dan juga kepentingan masing-masing.

Waktu aku takut akan mati itu, sekitar tahun 2005, saat itu, aku tidak punya banyak beban dalam hidup. Jadwal harian waktu itu hanyalah bangun, sarapan, sekolah, pulang, main, nonton TV, belajar malam, tidur. Begitu saja diulang-ulang selain di Hari Minggu. Untungnya, aku dilahirkan dari keluarga yang mampu secara ekonomi sehingga aku tidak terlalu berpikir akan mencari duit dan sebagainya. Yang aku lakukan hanyalah menerima asupan dari orang tua dan mensyukuri semuanya tanpa kecuali. Bisa dibilang, hal itu juga yang membuatku sedikit nyaman untuk memijakkan kaki di bumi ini.

Beda seperti 12 tahun setelahnya, tepatnya di tahun 2017, aku mulai dihampiri dengan beberapa tekanan hidup, entah itu validasi dari teman, kesibukan saat jaga ketika koass, ditambah juga dengan motivasi yang kurang. Jadwal harian waktu itu tetap sama, bangun, sarapan, koass, pulang, belajar sedikit, tidur. Itu kalo tidak dapat jadwal jaga, kalau dapat, mungkin berbeda lagi mainnya. Tapi, beban di pikiran waktu itu sudah jauh mengarah ke karir, jodoh, kesehatan, dan sangat kompleks. Bahkan, untuk karir saja, aku selalu berpikir apakah mau jadi dokter umum atau spesialis, apakah mau disambi jadi penulis, atau juga, nanti bakal kerja di mana, dapat teman atau rekan seperti apa. Banyak sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun