Mohon tunggu...
Farhandika Mursyid
Farhandika Mursyid Mohon Tunggu... Dokter - Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Penulis Buku "Ketika Di Dalam Penjara : Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi" (2017), seorang pembelajar murni, seorang penggemar beberapa budaya Jepang, penulis artikel random, pencari jati diri, dan masih jomblo. Find me at ketikanfarhan(dot)com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Realita Abu-Abu

1 Juni 2020   09:53 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:10 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : dokpri

Jika kita hidup saling mencintai,
Kita akan bisa memahami kekurangan satu sama lain.
Kita akan melihat semua orang dengan rasa kebaikan.
Kita akan bisa memaafkan segala luka yang tercipta.
Kita akan bisa menegur orang untuk tidak menjadi murka,
Kita tidak akan membagi orang berdasarkan golongan.
Kekayaan, keimanan, keyakinan.
Warna kulit, bentuk rupa, nama panggilan..
Kita tidak akan saling melukai satu sama lain,
Kebencian, kemarahan, penyesalan
Kutukan, umpatan, cacian
Dan, segala jenis kotoran.
Para binatang pun tidak akan mengamuk.
Minta keluar dari kurungan pikiran.
Tidak akan ada namanya itu rasisme
Tidak akan ada namanya itu seksisme
Tidak akan ada pertunjukan bengis yang lagi menyebar
Layaknya virus yang menular.
Kita akan melihat indahnya perdamaian.
Tanpa ada kasus yang menyebar di sosial media
Pelecehan, penganiayaan, pembunuhan
Menanti untuk ditonton satu persatu.

Masalahnya adalah...
Tidak semua orang bisa terlahir dengan cinta.
Dan, tidak semua orang juga mengenal cinta sewajarnya.
Kita paham istilah itu hanya sisi romantisme saja.
Yang ditunjukkan oleh buku, film atau lagu di telinga.
Bukan dari sisi hubungan antar manusia.
Memang, kita masih buta.
Tidak bisa melihat siapapun selayaknya manusia biasa.
Kita membiarkan Papua dan Minnesota
Seperti kita membiarkan kasus-kasus lainnya.
Berakhir dengan tidak sempurna.
Kemudian, kami kembali ke rutinitas biasa.
Berjuang menikmati suguhan yang ditawarkan oleh ego
Benci, marah, kesal
Kutukan, umpatan, cacian
Keluar bersamaan di saat semua tidak sesuai harapan
Atau saat bahan obrolan sudah mengeluarkan umpan
Menantikan emosi datang berluapan.
Itulah memang realita kehidupan.
Warna abu-abu yang selalu mapan.
Putih bukan, hitam tercampakkan.

Sleman, 1 Juni 2020.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun