"Iya, saya sudah melihat dari mukanya tentang apa yang terjadi kala itu."
OoOoOoOoOoO
"Anak Muda, saya sudah dapat rekaman dari apa yang terjadi dalam mimpimu kemarin itu. Dari sini, dapat dilihat bahwa kalian berdua ini punya sebuah ikatan yang sangat rapi. Kalian memang pada intinya terlahir untuk bersama, namun sayang, maut memisahkan kalian berdua."
"Wah. Iya kah, Pak?"
"Benar sekali. Sebenarnya, dari sini, saya punya sebuah ide yang bisa dibilang sangat sulit untuk dijalani. Tapi, sebagai rasa terima kasih saya kepada kamu atas segala yang telah kamu lakukan, saya akan coba sebisa mungkin."
"Maksudnya, Pak?"
"Hmm.. Anak Muda, akan lebih baik jika kita bicarakan kapan-kapan. Saya kebetulan ada janji sama seorang klien lagi di dekat Pasar Rakyat sana. Saya kabarkan kamu via anak saya, ya."
"Baik, Pak Yusuf. Terima kasih banyak, nggih, atas kesempatan hari ini. Aku jadi tidak sabar dengan rencana Pak Yusuf ke depan seperti apa. Semoga menarik."
"Ohya, Anak Muda. Seperti biasa, ini ada titipan rendang dari istri saya."
OoOoOoOoOoO
Pak Yusuf kembali memberikanku sebuah makanan yang kembali mengingatkanku akan budaya Minangkabau. Nasi Rendang. Bagiku, nasi rendang buatan istri Pak Yusuf jauh lebih enak ketimbang nasi rendang yang dijual di beberapa tempat di kota ini. Meskipun dibikin sama orang Minang juga, namun, rasa yang ini jauh lebih enak. Bahkan, lebih dari tempatnya Bang Niko juga. Itulah yang membuatku selalu ingin kembali ke tempatnya Pak Yusuf di kala ada sesuatu yang perlu aku ingin ceritakan.