Mohon tunggu...
Farhandika Mursyid
Farhandika Mursyid Mohon Tunggu... Dokter - Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Penulis Buku "Ketika Di Dalam Penjara : Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi" (2017), seorang pembelajar murni, seorang penggemar beberapa budaya Jepang, penulis artikel random, pencari jati diri, dan masih jomblo. Find me at ketikanfarhan(dot)com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Reuni | Mimpi Tentangmu

30 November 2019   06:32 Diperbarui: 30 November 2019   06:37 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : dokumentasi pribadi

"Dok, kayaknya tadi sampean mimpi indah, deh. Pake ngigau segala, lho! Wis jatuh cinta, tah sampean? Ciyeeee. Hahaha."

Omongan dari Mas Aldi di jam Subuh itu membuatku bergidik malu. Mimpi yang terjadi semalam itu memang sangat indah sekali. Aku bahkan sampai bingung gimana cara untuk merespon perkataan itu. Sembari itu, Mas Aldi l angsung bergegas ke pasien untuk memantau kondisi pagi ini.

Suasana di ruangan ICU hari ini sangatlah aman. Jumlah pasien hari ini hanya satu dan untungnya, kondisinya hari ini relatif stabil. Begitu juga yang terjadi di bangsal lain, tidak ada panggilan kegawatan atau semacamnya. Paling hanya jam 10 malam kemarin, saat aku diminta untuk menulis resep di Bangsal Dewasa.

Tak terasa, sudah hampir dua bulan aku menjalani tugas sebagai dokter internship di Rumah Sakit (RS) ini. Meskipun baru menjalani stase ruangan, namun entah kenapa aku merasa bahwa RS ini cukup membuatku nyaman.

Perawat yang ramah dan kompak serta jumlah pasien yang tidak terlalu banyak bisa dibilang mengurangi rasa sesak yang aku temukan di tempat ini. Selama shift malam tadi, aku habiskan dengan sekadar canda tawa dengan para perawat yang ada. Kadang, kami membahas soal film, musik, bahkan juga percintaan.

Namun, selama tugas di sini, pikiranku masih sering mengarah ke satu hal.

Iya, gadis yang hadir dalam mimpiku tadi malam itu. Sudah sangat lama aku tidak berjumpa dengannya. Aku masih ingat bagaimana sedihnya di kala kami harus berpisah di bandara saat pacarana dulu yang relatif singkat. Atau, berapa besarnya volume air mata yang aku keluar saat aku baca berita buruk tentangnya dulu. Mengingatnya saja masih membuatku terluka.

Cinta, seandainya aku bisa mengulang waktu, mungkin aku akan melarangnya untuk pergi ke rumah mantannya dulu. Membayangkan mukanya saja sudah membuatku muak. Aku selalu berharap semoga dia membusuk di rumah pesakitan itu. Kabar yang beredar, dia sudah dipenjara 30 tahun tanpa banding. Sebuah hukuman yang sangat tidak diharapkan dari kejadian tragis yang menimpa gadis molek itu.

OoOoOoOoOoO

"Dok. Ayo, dok. Jelaskan lho. Sekarang sudah jam setengah enam. Kan sudah disampaikan toh hasil EKGnya ke dokter Lita? Yowis, aku wis tak sabar dengar cerita sampean."

"Lah, ono opo karo dokter Gani, Mas?"

"Sampeyan gak dengar tah, Mbak? Kemarin itu, dokter Gani ngigau lho, terus raut mukanya itu senyum gitu, Mbak. Mau tak rekam terus tak share ke grup perawat ICU, tapi gak enak aku."

"Eeee.. iyo tah? Waah, dokter Gani wis jatuh cinta tah? Ayo, dok. Aku juga tak sabar dengerin cerita itu."

Serangan dua arah dari Mas Aldi dan Mbak Tita di pagi itu turut membuatku bingung apakah aku harus mulai cerita atau tidak. Tentunya, jika aku cerita sepenuhnya, pasti akan jadi cerita yang sangat ambyar.

Aku tidak mau pagi yang cerah ini harus dimulai dengan kisah sedih. Aku tidak mau bertanggung jawab jika cerita itu akan berakhir menjadi kelabu. Sebuah warna yang sangat berlawanan dengan sinar mentari yang mulai menembus jendela ruangan ICU itu.

Aku hanya bisa menjawab

"Kalo aku ceritain, pastinya akan panjang. Aku tak mau bertanggung jawab atas risiko yang terjadi ke depannya. Bisa terjadi infeksi pada kenangan, perdarahan yang menyamar dalam bentuk air mata, atau komplikasi lainnya."

Setelah itu, aku melihat raut muka mereka yang sedikit berubah. Setidaknya, sebuah rahasia bisa aku simpan di detik ini. Namun, tidak memungkinkan jika itu bisa terbongkar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, satu orang yang mulutnya gampang bocor kayak Raka. Atau, orang yang jago dalam jurnalistik cabang investigasi.

Ah, aku jadi teringat kata Nina dulu saat koass di stase IPD.

"Hidupnya Gani itu kok ga menarik banget. Bosen banget, mendem mulu di rumah, ga pernah keluar-keluar. Hanya sibuk dengan pikiran introvertnya, tok. Gak asik ah, kamu."

OoOoOoOoOoO

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 6.50 pagi. Tanpa terasa, aku sudah cukup lama mempertahankan kerahasiaan mimpiku tadi di depan Mas Aldi. Mbak Tita hanya tertawa saja melihat kami berdua. Aku bahkan sudah mengeluarkan berbagai argumen supaya Mas Aldi bisa mengerti.

Namun, kami hanya saling menyerang argument satu sama lain. Mulai dari traktiran sampai hal lainnya. Dan, lambat laun, satu persatu petugas shift pagi pun berdatangan. Begitu juga dengan temanku, Rika.

Aku pun langsung berteriak bebas setelah sekian lama berjuang mempertahankan kerahasiaan mimpiku itu. Tentu saja, teriakan itu hanya muncul di dalam hati. Bukan dalam mulut. Aku terlalu pemalu untuk berteriak.

OoOoOoOoOoO

Setelah operan kami semua selesai, petugas shift malam langsung balik ke masing-masing tempatnya. Di jalan pulang ke parkiran, aku masih berusaha melawan nego dari Mas Aldi. Kali ini, sudah berbagai metode yang dia terapkan, masih belum pantang menyerah. Aku pun coba buka sedikit demi sedikit, tapi tidak semuanya.

"Jadi gini, Mas. Aku tadi itu ketemu selebriti idolaku. Wajar toh, aku tersenyum puas. Kadang, nek, aku tidur itu, aku pasti doyan menggigau. Itulah sebabnya aku jarang tidur selama jaga malam. Takut itu kebongkar."

"Oalaaah. Ya, sampean ngomong ae, dok. Nek itu kan wajar, toh? Tak kirain ketemu pacar atau gimana. Masa sampe mesti nunggu 1,5 jam gini. Yo wis lah, dok."

OoOoOoOoOoO

Pagi ini adalah awal dari libur panjang yang aku dapat selama 5 hari. Entah kenapa, sistem jaga di sini sangatlah menyenangkan. Di sini, kami menganut penedekatan work hard play hard. Tidak seperti biasanya, setelah jaga ini, aku justru langsung bawa motorku ke belakang RS.

Kebetulan, RS kami letaknya dekat dengan kompleks pelabuhan. Bisa dibilang, tempat ini adalah tempat yang relatif dekat dengan latar yang ada pada mimpiku semalam. Di kota ini, pantai terdekat masih berjarak satu jam dari RS tempat kami.

Aku pesan segelas teh panas, minuman yang kami nikmati selama di mimpi itu. Benar-benar menyesuaikan dengan apa yang terjadi dalam mimpi tadi. Memang, dunia nyata tidaklah sesuai dengan alam mimpi. Namun, mencari yang sedikit lebih mendekati pun sudah dirasa cukup. Setelah semuanya tersaji, aku coba duduk dan mulai merancang apa yang sempat aku susun dalam memori.

OoOoOoOoOoO

Pagi itu, aku membawa motorku ke sebuah pantai. Entah kenapa, sejak bertugas di kota ini, aku semakin kangen akan pantai itu. Terakhir kali aku ke sana itu kira-kira bulan Februari tahun lalu. Aku selalu teringat janjiku untuk membawa seseorang ke sini. Ke sebuah pantai yang mengingatkanku masa KKN dulu. Masa di mana seharusnya aku sudah mulai membangun cinta dengan seseorang, malah semuanya gagal akan kesalahanku dulu.

Namun, semuanya sudah berlalu. Kali ini, entah kenapa, mimpi itu membawaku bergerak menuju pantai itu. Aku sempat berhenti sejenak dan baca chat dari Lek Supri, Dia katanya gak jadi ke pantai karena ada urusan mendadak di keluarganya.

Namun, aku sendiri masih bingung atas dasar apa aku diturunkan langsung saat aku naik motor. Tidak ada penjelasan terkait motif yang menyebabkan aku berada di situ. Namun, ini adalah mimpi, bukanlah seperti apa yang terjadi di dalam Inersia dulu.

Tanpa disadari, aku langsung sampai di pantai yang tujuan. Langit di atas cerah berawan, ideal untuk menuntaskan rinduku akan suasana pantai itu. Tumben juga, saat aku turun di pantai itu, suasanya bersih.

Entah, apakah karang taruna di sana sedang rajin-rajinnya atau karena ada perwakilan KKN lagi yang bertugas di sana. Suasana pantai juga relatif sepi, berbeda dengan pantai-pantai lainnya yang tersebar di kota itu. Apalagi, satu pantai yang letaknya dekat dengan bandara yang baru dibuka. Sudah terlalu ramai, hingga aku mulai malas ke sana.

Aku turunkan motor itu di depan pantai itu. Sudah muncul beberapa perubahan di sana. Salah satunya, mulai munculnya spot-spot untuk berfoto selfie. Ada yang membentuk logo cinta, atau juga yang pakai ayunan.

Namun, spot-spot tersebut tidak menganggu keindahan pantai yang selama ini aku kagumi. Mereka hanya mengambil 1-2% dari luas pantai. Tanpa pikir panjang, aku turun dari motor dan jalan menuruni gundukan pasir yang merupakan ciri khas dari pantai itu.

Perlahan-lahan, sembari berjalan ke arah tepi, aku mulai merasa putaran angin yang ada itu mulai menenangkan jiwaku yang sempat kalang kabut. Mulai aku nikmati semuanya dengan mata terpejam, dari udaranya, pasirnya, atau suara airnya yang benar-benar menyejukkan sanubari. Di saat, aku menikmati pejaman mataku.

OoOoOoOoOoO

"GANI! GANI! AKU DI SINI, CINTA!"

Tiba-tiba, aku mendengar sebuah suara yang akrab bagiku. Sebuah suara gadis yang aku kenal. Gadis yang pernah aku bawa ke sebuah perjalanan yang penuh cinta. Bukankah dia sudah di alam yang berbeda.

Ah, entahlah. Tapi, suara itu semakin lama semakin menggodaku untuk bergerak mencari sumber suara itu. Aku tidak merasakan adanya genggaman ataupun hentakan. Pastinya, gadis itu tidak mungkin ada di jarak yang sangat dekat. Aku buka mata, dan cari sumber suara itu.

Semakin dekat. Tanpa dirasa, jantungku mulai berdebar kencang saat melihat wujud dari suara itu. Aku melihat seorang gadis yang aku kenal sebelumnya. Gadis yang sekarang sudah tinggal di dunia yang lainnya. Entah, bagaimana nasibnya di sana. Cuma, aku coba dekati suara itu. Aku coba peluk dia menandakan seberapa besar rasa kangenku pada gadis itu.

Di saat, jarakku semakin dekat. Aku coba peluk gadis itu.

OoOoOoOoOoO

Dan, di situ pulalah, rekaman mimpi itu harus berakhir. Aku terjatuh karena berlari menghadapi tanjakan pasir yang sangatlah terjal.

Lucunya, entah kenapa saat itu air mata tidak lagi berurai melainkan yang ada hanyalah respon bahagia yang muncul spontan.

Apakah ini menjadi sebuah pertanda?

Cinta, apakah memang kami akan dipertemukan lagi?

Ah, entahlah. Tanpa dirasa, segelas teh panas itu telah habis aku nikmati. Saatnya untuk kembali dan beristirahat. Semoga memang ini segera terjadi. Karena, mimpi yang dulu belum pasti akan berlanjut lagi. Mungkin, tiba-tiba aku dibawa untuk membawa sebuah bola besi yang kasar dan berat sekali. Itu biasanya sering aku alami saat amandelku mulai kambuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun