Dalam lamunan itu, aku kembali berpikir, bersama dengan secangkir kopi karamel yang aku pesan di kafe itu.
Jika memang aku butuh sosok pasangan itu, apakah dia bisa menerima apa yang aku punya sekarang ini?Â
Seorang yang selalu hanya menghambakan diri dengan status pendamba. Dia tidak ada teman yang bisa dibangga-banggakan untuk datang ke acara pernikahan kami kelak. Acara itu pasti akan sepi, yang datang hanyalah warga sekitar yang mungkin tidak kenal akan siapa sosok pria yang mempersunting wanita kebanggaan kampungnya itu. Mereka datang hanya karena itu adalah adat dari kampungnya sendiri. Tidak ada ikatan emosional seperti apa yang ada seharusnya jika kita menghadiri sebuah pernikahan. Begitu pula denganku. Sangat jarang sekali aku dapat satu atau dua undangan pernikahan, bahkan sekadar basa-basi saja pun aku sepertinya tidak layak.
Seorang yang pikirannya sangat abstrak di mana baginya pesta itu hanyalah seremonial saja dan tidak terlalu penting untuk dirayakan. Baginya, pernikahan adalah sebuah tanda bahwa dua insan akan menjadi satu dan hidup selamanya mengenal satu sama lain. Mengenal tubuh masing-masing, mulai dari muka tanpa riasan, lokasi panu, atau keberadaan jamur di selangkangannya, dan memahami kebiasaan masing-masing, mulai dari bagaimana pasangan itu tidur, makan, bahkan ngupil dan buang air kecil. Masih banyak lagi. Baginya, pesta itu tidak jauh beda seperti makan, hanya bisa dinikmati sebentar saja, sisanya hanya milik berdua saja. Jadi, tidak begitu penting juga pesta itu harus dipersiapkan semegah mungkin.Â
"Heh, Gordon. Kamu merenung aja, lagi mikirin sajak baru, ya? Apa jangan-jangan malah lagi sibuk ngurusin pasien schizophrenia kemarin?"
Panggilan dari Tera pun kembali menyadarkanku akan lamunan panjang tentang pernikahan. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, sepertinya kami semua langsung beranjak pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga denganku. Mungkin, akan ada waktunya bagiku untuk tahu apa jawaban dari pertanyaan itu. Entahlah kapan.Â
Nanti malam, besok, atau minggu depan.