Mohon tunggu...
Farhandika Mursyid
Farhandika Mursyid Mohon Tunggu... Dokter - Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Penulis Buku "Ketika Di Dalam Penjara : Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi" (2017), seorang pembelajar murni, seorang penggemar beberapa budaya Jepang, penulis artikel random, pencari jati diri, dan masih jomblo. Find me at ketikanfarhan(dot)com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Petuah Si Pembungkus Permen

23 April 2018   05:00 Diperbarui: 23 April 2018   22:58 2731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sumber foto : aliexpress.com

Sontak, mendengarkan desus-desus sendu dari pembungkus itu, aku pun ambil salah satu dari mereka, aku coba ajak bicara dia dari hati ke hati. Namun, pasti dia akan diam dan menganggapku gila, apalagi jika aku katakan langsung, mungkin ibuku turut menganggapku gila juga. Benar-benar sebuah representasi dari jomblo kronis yang ada di muka bumi, pajang foto cewek di dinding kamar, dan berbicara dengan pembungkus permen. Sepertinya, aku sudah putus asa sekali dengan harapan cinta yang tak kunjung datang, setelah 9 kali mencoba nyatakan cinta, tak ada yang berakhir bahagia. Usaha yang sangat tidak efektif. Namun, kali ini, aku terpaksa menjadi gila hanya karena sebuah pembungkus permen. Aku pun melihat pembungkus permen, aku jamahi seluruh tubuhnya dan tiba-tiba terheran dengan sendu yang dirasakannya.

"Kamu tadi kok ngomong sedih gitu? Kamu ngomong apaan sih emang?"

Tentu, pembungkus tadi tidak membalas ucapanku. Jika iya, mungkin aku sudah akan kabur dan langsung membuangnya ke tong sampah. Entah setan apa yang masuk ke pembungkus tadi sehingga dia berani merespon pertanyaanku. Meskipun, aku masih belum percaya akan segala hal yang berbau setan, tapi itu bukanlah pertanda bahwa aku berani, aku lebih memilih untuk tidak percaya, dan berpura-pura mengabaikan segala teori yang membuktikan keberadaan setan itu meskipun buktinya ada.

Sedikit demi sedikit, aku coba amati lagi pembungkus permen, dan entah kenapa, tiba-tiba aku teringat dimana salah satu teman terbaikku melupakan aku sendiri. Seorang teman itu sudah menjadi seorang selebgram, punya ribuan atau malah puluh ribuan pengikut di sana, sering sekali mempromosikan barang di akun tersebut. Ah, dia memang sudah terkenal, sudah kerja juga di Kementerian, dan memang dasarnya cantik, bahkan sebelum jadi selebgram pun sudah cantik dan disukai banyak cowok di lingkaranku, ibarat figur sosok seorang cewek idola kebanyakan orang. 

Kulit yang putih ibarat salju, muka yang imut ibarat bakpao, dan postur tubuh yang tinggi, namun bukanlah serupa tiang yang tanpa isi, namun sedikit proporsional. Ya, tidak jauh sama foto cewek yang terpajang di dinding kamar yang masih merayuku meskipun itu hanya mimpi. Awalnya, kami sempat berhubung baik, meskipun tidak sampai dekat. Dan, sekarang, ketika aku hanya berniat mengucapkan salam saja saat dia siaran langsung, dia tidak menjawab, justru lebih fokus untuk bercerita dan merespon penggemarnya yang justru muncul di bawahku. 

Aku hanya berprasangka mungkin ucapanku itu hanya tenggelam diantara beberapa ucapan yang berbahaya, namun sisi panikku justru berpikir mungkin dia sudah lupa akan teman yang lama. Lagian, aku bukanlah teman yang layak dikenang untuk dia, siapalah aku, orang yang mukanya pas-pasan dengan tubuh yang selalu memuai secara tiga dimensi.

Dari situ pula, aku berpikir tentang kata persahabatan. Selama 22 tahun aku hidup di dunia, begitu banyak teman yang silih berganti datang melihat mukaku, mengenal segala tingkah lakuku, entah itu dari dunia nyata ataupun hanya sekedar bertemu di sosial media menanyakan kabar tentang para artis Jepang yang hanya menjadi bahan delusi pertanda kejombloan kami semata. 

Namun, dari semua orang yang kukenal, mereka hanya mengenalku karena kemampuan yang aku punya, entah itu kehebatanku dalam merangkai kata-kata artikel, atau dalam beropini. Mereka menyaluti semua kalimat yang aku keluarkan, ibarat Kendrick Lamar saat rilis albumnya yang sampai dipuja-puja hingga memenangkan Pulitzer. Atau mereka menyaluti "kepintaran"ku hanya karena aku berstatus sebagai mahasiswa kedokteran, sebuah jabatan yang aslinya tidak sekeren yang mereka bayangkan.

Sejak kapan ada dokter yang hobi ngidol JKT48 meskipun tidak pernah nonton konsernya sama sekali.

Sejak kapan ada calon dokter yang doyan koleksi album hip-hop di saat hampir seluruh teman sefakultasnya lebih memilih lagu klasik, jazz ataupun pop.

Tentu, sebuah hal yang bagi lingkaran mereka sangatlah unik untuk dijadikan teman, ibaratnya mencari sekuntum mawar merah di pegunungan yang terjal. Setiap karya yang aku keluarkan, pasti beramai-ramai "like" diberikan, terkadang sampai ada yang turut menyebarkan ke seluruh media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun