"Astagfirullah, Bang. Iya, Bang. Aku minta maaf kalo selama ini memang bikin salah."
"Maaf? Udah telat! Buang saja kata maafmu. Selama lo masih berada di dalam kutukan lo, LO BAKAL JADI GEMBEL SEUMUR HIDUP! CAMKAN ITU!"
"Baik, Bang."
OoOoOoOoOoOoO
Entah kenapa, setelah telepon disertai pengumuman bahwa aku tidak lolos itu, aku mulai merasa bahwa aku masih dalam kutukan Bang Haris. Temanku berkata jika kamu dikutuk oleh seseorang terutama dalam hal yang buruk, kutukan itu bertahan sampai itu dicabut. Sehingga, hindarilah kata-kata kutukan negatif dari temanmu itu. Dan, melihat ke belakang. Sepertinya, kutukan Bang Haris itu memang terjadi.
Kutukan itu mungkin yang menyebabkan aku gagal memenangkan beberapa lomba tulis menulis.
Kutukan itu mungkin yang membuatku gagal untuk mendapatkan pendamping hidup.
Kutukan itu mungkin yang membuatku gagal untuk diterima di berbagai tempat kerja
Kutukan itu mungkin yang membuatku gagal lulus dengan predikat cum laude.
Apa yang akan harus aku lakukan lagi, Tuhan? Haruskah aku minta maaf ke Bang Haris dan Tino supaya kutukan itu dicabut? Tentu, itu bukanlah sebuah jawaban. Amak pernah bilang selama ini bahwa jika kamu melakukan kesalahan dan meminta maaf, itu ibaratnya kamu melubangi sebuah kertas. Bisa saja ditambal, namun tidak akan kembali menjadi kertas yang suci dan bersih seperti sediakala. Dia masih saja ingat dengan dosa-dosa yang diperbuat kamu sebelumnya.
Tiba-tiba, memikirkan hal tersebut membuat otakku jadi pusing dan aku merasa tenggorokanku sedikit menyempit, nafas mulai sesak dan entah kenapa aku jalan sedikit sempoyongan ibarat mabuk. Apakah ini pertanda akhir dari hidupku, Tuhan? Seketika, terlihat bayangan sosok Bang Haris dan Tino sudah sampai di tempat kosanku dan mereka sudah siap kembali memberikan pukulan mentah. Aku juga mendengar sebuah teriakan keras dari Bang Haris.