Mohon tunggu...
Dokter Kusmanto
Dokter Kusmanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - .

.

Selanjutnya

Tutup

Money

Lika Liku UKM, Andika Usaha Jamu

24 Mei 2012   21:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:50 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Siapapun kita, pasti ingin hidup layak.
Tetapi hidup layak secara halal tidaklah mungkin tanpa usaha.
Bagaikan kita sekolah SD, belajar angka harus mulai dari NULL sampai SEMBILAN.
Artinya kita harus usaha dari null untuk menuju prestasi luar biasa (SEMBILAN).

Bila bicara ekonomi, pastilah bicara usaha skala Kecil, Menengah dan Besar.
Yang paling sulit, menurut saya adalah mengerakan awal usaha (sebagai Pendiri atau founder).
Bagaikan mobil yang mau maju, harus mulai gigi satu untuk bisa lancar melaju.

Untuk memahami cikal bakal usaha, bisa juga menggunakan pepatah Jawa, yaitu Bibit, Bebet dan Bobot.

Bibit:
Bicara bibit adalah bicara genetik manusia.
Juga termasuk ide awal (bibit) sebagai jenis produk yang mau dijual.

Dalam bahasa Mandarin ada pepatah bahwa hoki (rejeki) adalah Teit ( nomor satu dalam bahasa mandarin, maaf bila saya salah menulis latin nya).
Bila boleh saya sarankan, jangan 100 % percaya itu !
Tetapi itu pasti terjadi, bila saja anak Raja atau diwariskan kekayaan yang luar biasa.
Karena itu percaya dan tanamkan sikap bahwa keberhasilan adalah Kerjakeras 70 persen dan Hoki (rejeki) adalah 30 Persen saja.
(Angka ini saya dengar sendiri sebagai nasehat dari seorang pebisnis hebat Indonesia)

Karena itu, manusia yang ingin berhasil dalam usaha harus ada bibitnya.
Ada hobby, ada dasar jiwa usaha, ada motivasi dan masih banyak lainnya lagi.
Salah satu contoh, bibit (kemampuan bawaan) bermain musik sejak kecil.
Bawaan itu sudah bisa dikategorikan sebagai genetik.
Apakah kita ada tanda tanda genetik yang menjurus ke dunia usaha ?
Pasti ada ! Hanya saja jenis bisnisnya yang berbeda.

Bebet:
Lingkungan, jaman menurut saya sangat berperan sekali.
Pernah saya berdiskusi tentang sejarah suskesnya konglomerat saat ini.
Saya berdiskusi langsung dengan pengusaha besar yang sudah sangat top di Indonesia dan masuk jajaran manusia langka Indonesia.
Ternyata membangun usaha di sekitar tahun 1970an, saat meledaknya dan bagusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dimata dunia.
Katanya beliau dijaman itu “Bikin apa saja bisa laku banyak dan masih laba besar”

Sebut saja seperti bikin pabrik makanan, dan memang sudah terbukti besar.
Pabrik obat dan bidang kesehatan, terbukti besar.
Pabrik kayu , juga terbukti besar.
Maka perhatikan saja, perusahaan yang berkembang besar secara bertahap, biasanya sudah cukup lama dimulai nya. Sejak Puluhan tahun dibina secara professional.

Apakah ada perusahaan yang menjadi besar dalam waktu singkat ?
Contohnya 5 tahun terakhir lalu besar ?
Tetapi dengan syarat harus dimulai dari dasar dan bukan di karbit uang atau jalan pintas.
Pasti adalah, cuma saja bisa di hitung dengan jari.
Artinya jaman sudah berbeda dengan sekitar 40 tahunan yang lalu.
Saat ini sudah terlalu banyak yang saling bersaing.
Demikian juga penjual nya sudah sangat banyak.
Sehingga korelasi pembeli dibandingkan barang dan penjual sudah sangat berbeda jauh dari 40 tahun terakhir.

Belum lagi banyak perijinan wajib yang harus dipenuhi.
Baik dari segi halal (termasuk komposisi yang layak food grade), kadaluarsa, ijin lingkungan, ijin industri, dll.

Bobot:
Yah… sungguh kinerja yang sangat luar biasa untuk menghasilkan suatu produk yang berbobot dalam kepentingan hidup banyak Manusia.
Hanya produk yang berbobot dan dibutuhkan masyarakat banyak, yang mampu menghasilkan laba besar.

Contoh tantangan yang realitas saat ini :
Dunia nyata saat ini bisa dibaca disini : Berita Metrotvnews.com : RI Semakin Seksi

Coba kita bayangkan dahulu.
Bila 20 tahun yang lalu, 1 tenaga professional bergaji Rp. 2,4 juta
Nilay yang setara dua kali salari sejak masuk kerja.
Dia mampu membayar upah sekitar 30 tenaga kasar (UMR).
Artinya orang propesional lebih mudah membuat usaha.
Dengan resiko yang lebih kecil dan bisa mereka tanggulangi.
Demikian juga harga bahan baku dan bahan kemas saat itu masih murah dibandingkan saat ini.

Sekitar tahun 1991 seorang lulusan S1 lokal salarinya antara Rp. 1 s/d 1,5 juta.
Saat itu UMR sekitar Rp. 65 ribu s/d Rp 70 ribu.
Artinya berbanding 1 Sarjana berbanding 20 pekerja kasar (UMR).

tetapi sekarang penghasilan S1 hanya sekitar Rp. 2 juta sampai Rp. 4 juta dengan upah UMR sekitar 2 Jutaan.
Maka bisa terlihat daya beli sarjana dan kemampuan sarjana untuk memulai usaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun