Mohon tunggu...
Dayan Hakim
Dayan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - persistance endurance perseverance

do the best GOD do the rest

Selanjutnya

Tutup

Money

Serikat Pekerja di Mata Gen Y

9 Desember 2016   16:01 Diperbarui: 9 Desember 2016   16:08 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Hari demi hari berlalu, tidak terasa sudah menjelang tahun 2017. Perubahan terus terjadi di dalam segala aspek termasuk juga dalam pengelolaan sumber daya manusia. Pola komunikasi yang terjadi antara Direksi dengan karyawan sudah mulai berubah dengan perubahan demografi dalam struktur tenaga kerja. Banyak perusahaan yang harus melakukan penyesuaian Budaya Kerja khususnya dengan masuknya Gen Y dalam struktur tenaga kerja yang ada.

Demographers William Straus and Neil Howe mendefinisikan Gen Y adalah mereka yang lahir setelah tahun 1982. Jean Twenge menyebutnya sebagai Generation Me yang memiliki atribut confidence (sikap percaya diri), tolerance (sikap bertoleransi), entitlement (made in accordance with a legal framework of a society = selalu menginginkan kesesuaian dengan kerangka hukum dalam masyarakat) dan narcissism(excessive selfishness = egois yang berlebihan).

Di Indonesia, kebetulan mereka ini lulus SMA pada tahun 1998 saat keruntuhan orde baru dan dimulainya orde reformasi. Kebebasan berbicara dan berserikat sudah dijamin oleh Undang-undang Dasar. VCD “Mengapa Begini, Mengapa Begitu” merupakan tontonan wajib bagi Gen Y di masa kecil mereka dan akhirnya terbawa sampai mereka tumbuh dewasa. Gen Y menjadi generasi cerewet dan bawel terhadap kondisi yang menurut mereka tidak sesuai dengan norma yang mereka ketahui.

Kebetulan pula pada periode tersebut Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi berkepanjangan. Kebijakan zero growth bukan hanya di lingkungan pegawai negeri sipil tapi juga merambah di semua sektor ekonomi. Akibatnya selama bertahun-tahun anak-anak Gen Y yang tidak mampu melanjutkan ke pendidikan tinggi terpaksa masuk ke sektor informal. Mereka yang telah sarjana juga tidak dapat langsung bekerja di kantor dan pabrik karena kondisi perekonomian belum mampu menyerap mereka. Baru setelah tahun 2004 disaat kondisi ekonomi mulai pulih, sedikit demi sedikit Gen Y terserap masuk ke pekerjaan formal.

Dampaknya luar biasa bagi Budaya Kerja Perusahaan. Gen Y yang selalu cium tangan bila berpapasan ternyata berani berkata tidak bila tidak setuju dengan pimpinannya dan balik bertanya mengapa mengambil keputusan tersebut. Beberapa bintang bermunculan dari Gen Y yang mempunyai kemampuan luar biasa. Penyesuaian dalam Budaya Kerja Perusahaan mutlak dilakukan bila tidak ingin kehilangan kader bintang.

Jaman dahulu, bila sang ayah marah kepada anaknya dan mengucapkan “keluar kau dari rumah ini!!” maka si anak akan menangis sujud di kaki ayahnya memohon ampun. Namun bila hal sama dikenakan pada anak-anak Gen Y, si anak pasti akan keluar dan tinggal sang ayah yang kebingungan karena ditinggal si anak. Begitu pula di kantor. Bila karyawan dari Gen Y menemui permasalahan yang tidak pas dengan hati nuraninya, dengan mudah mereka ‘say goodbye boss’ dan esoknya sudah tidak masuk kantor.

Bila ada teman yang bercerita tentang masalah di kantor dengan boss-nya, anak Gen Y dengan cepat berkata ‘DL’ alias derita loe. Sarannya, cabut aja, gitu aja koq repot, ‘lets move on’. Pola pikir yang sederhana, menggampangkan masalah, serba instant.

Serikat Pekerja yang dibentuk untuk membela hak-hak karyawan saat berhadapan dengan manajemen seolah menjadi tidak berguna bagi anak Gen Y. Alih-alih ribut dengan manajemen, anak Gen Y lebih memilih hengkang. Tawaran Serikat Pekerja untuk membantu menyelesaikan masalah kepegawaian malah dianggap sebagai hal yang merepotkan bagi mereka. Harus menghadiri sidang PHI, harus rapat P4D, harus mediasi dengan Disnaker menjadi beban untuk mereka. Mending juga nongkrong di warnet browsing loker baru.

Serikat Pekerja tidak dapat mempergunakan kasus kepegawaian anak Gen Y untuk membuat masalah dengan manajemen. Serikat Pekerja juga tidak mampu menarik anak Gen Y untuk menjadi pengurus harian. Akhirnya Serikat Pekerja isinya hanya karyawan yang kalah bersaing dengan temannya sendiri yang kebetulan naik menjadi pejabat. Karyawan tua yang kalah dalam lelang jabatan dan kerjanya hanya ngomongin ‘bekas’ temannya yang menjadi pimpinan. Nyinyir dan sirik katanya anak Gen Y.

Di sisi lain, anak Gen Y memberikan kehangatan dalam pergaulan di kantor. Makan siang yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain menjadi acara yang menarik untuk diikuti. Nonton Bareng, Buka Bersama dan Reuni Terbatas merupakan ajang kumpul yang menarik. Topik bahasan yang bervariasi mulai dari S7 sampai Ahok merupakan trending topik anak Gen Y. Tidak ada yang berupaya menggurui, tidak ada yang berupaya mempengaruhi. Semua informasi ditelan sebagai masukan yang memperkaya khazanah berfikir kritis anak Gen Y. Istilah mereka ‘elo ajja keles… jangan bilang kami donk…’

Kalo kayak gini, masih perlukah Serikat Pekerja? Siapa yang mau menjadi pengurusnya?

==dokday 09/12/2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun