Mohon tunggu...
Muhammad Abdul Amin
Muhammad Abdul Amin Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Hanya seorang freelancer penyuka sastra

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menjamurnya Usaha Booth Minuman di Masa Pandemi

23 April 2021   00:18 Diperbarui: 23 April 2021   01:12 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Konsep bisnis yang ingin menguasai sumber daya sendiri dari hulu ke hilir tidak akan bertahan lama di dalam ekonomi digital. Di dunia maya, publik dihadapkan pada beragam perusahaan yang menawarkan produk atau jasa yang sama. Dalam memilihnya, mereka hanya menggunakan tiga kriteria utama: cheaper, better,dan faster. Melihat hal inilah maka perusahaan harus selalu peka terhadap berbagai kebutuhan publik yang membutuhkan kepuasan pelayanan tertentu. Esensi dari globalisasi adalah runtuhnya batas-batas ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan seba-gai sumber daya utama, tidak mengenal batasan geografis sehingga segmentasi market yang selama ini sering dilakukan berdasarkan batas-batas waktu dan ruang pun harus didefnisikan kembali mengingat bahwa seluruh masyarakat telah menjadi satu di dalam dunia maya, baik komunitas produsen maupun konsumen.

Semua produk digital kini terdistribusi dan tersedia melalui jaringan internet. Musik, film atau video, software, buku, majalah, radio semua dapat dinikmati lewat saluran internet. Begitupula Aktifitas offlineseperti, belanja, pemesanan tiket perjalanan, survey lokasi travelling dll. Salah satu hal paling menonjol dari keberadaan internet adalah eksistensi website online shopping dan website yang kental dengan kandungan penyampaian informasi, baik dalam bentuk berita, foto, video maupun audio, atau banyak yang menyebutnya sebagai online media. Di luar website online shopping yang jelas-jelas melakukan aktifitas jual-beli, yang menarik dari keberadaan website online media adalah keuntungan dalam angka maupun sekedar citra, tergantung dari obyektif setiap pengelola atau pemiliknya.

  • Franchise (waralaba)

Globalisasi ekonomi pada dekade terakhir ini berkembang dengan sangat cepat. Kehadiran Indonesia dalam ekonomi mulai dilirik oleh banyak pengusaha luar negri yang membuat Indonesia dituntut untuk berkembang di berbagai sektor usaha. Tentu perkembangan ekonomi yang begitu cepat juga menuntut kesiapan dan kemampuan pranata hukum dalam mengikuti perkembangan ekonomi sebagai akibat dari globalisasi ekonomi dunia tersebut. Dunia usaha yang selalu bergerak dinamis, pelaku usaha selalu mencari terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan usahanya. Hal ini semakin terasa di era global saat ini di mana ekspansi dunia bisnis telah menembus batas ruang, waktu dan teritorial suatu negara.

Hal nyata dari pertumbuhan ekonomi akibat globalisasi ekonomi dunia adalah meningkatnya kebutuhan perusahaan terhadap modal dan kebutuhan tersebut menuntut struktur permodalan yang lebih kompleks. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pelaku bisnis adalah penyertaan modal secara informal yaitu pengembangan usaha melalui sistem franchiseyang di Indonesia diistilahkan dengan waralaba.

Posisi ekonomi saat ini juga sangat terdampak karena pandemi virus covid-19 yang makin hari makin meningkat jumlahnya di Indonesia sejak bulan februari 2020. Banyak kegiatan ekonomi terhenti di seluruh dunia, dan dampak ini sendiri sangat terasa di Indonesia baik perusahaan besar maupun perusahaan rintisan, begitu juga dengan perusahaan dengan model bisnis waralaba.

Franchise sebagai bentuk usaha banyak mendapat perhatian para pelaku bisnis, dikarenakan dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kegiatan perekonomian dan memberikan kesempatan kepada golongan ekonomi lemah untuk berusaha, ini berarti, Franchise dapat memberikan kesempatan kerja, pemerataan dan juga menciptakan lapangan kerja masyarakat. Franchise adalah pemilik dari sebuah merek dagang, nama, dagang, sebuah rahasia dagang, paten, atau produk (biasanya disebut franchisor) yang memberikan lisensi ke pihak lain (biasanya disebut franchisee) untuk menjual atau memberi pelayanan dari produk di bawah nama franchisor Franchisee biasanya membayar semacam fee (royalty) kepada franchisor terhadap aktivitas yang mereka lakukan.

Menurut Susilowati, waralaba (franchise) adalah kontrak perjanjian pemakaian nama, merk dagang, dan logo perusahaan tertentu dari pemberi waralaba (franchisor) yang di dalamnya dicantumkan ikhtisar peraturan pengoperasiannya oleh perusahaan yang menggunakan (franchise), jasa yang disediakan oleh pemberi waralaba (franchisor),dan persyaratan keuangan. Sistem Waralaba sebagai format bisnis mulai di kenal di Indonesia pada awal tahun 1980, dibidang Restoran Siap Saji (Fast Food Restaurant), seperti KFC, Pioneer Take out. Sedangkan Franchise (waralaba) generasi pertama yang cenderung disebut lisensi memang telah lebih dahulu dikenal, antara lain seperti; Coca-cola, obat-obatan.

Waralaba merupakan metode yang efektif dan terbukti sukses untuk mendapatkan dana ekspansi eksternal dengan resiko terendah. Dibandingkan dengan membuka usaha dari nol dan mengakuisisi bisnis orang lain, menjadi mitra waralaba (franchisor) merupakan cara yang paling cepat untuk menjadi pengusahaSistem ini bagi sebagian usahawan yang ingin mengembangkan usahanya dipandang efektif dan tepat guna dalam pengembangan suatu perusahaan. Munculnya bisnis waralaba tentu membawa suatu konsekuensi logis terhadap dunia hukum, diperlukan pranata hukum yang memadai untuk mengatur bisnis tersebut di suatu negara, demi terciptanya kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam bisnis ini.Kemampuan teknologi dan pengetahuan atau penemuan yang spesifik, dan biasanya sedikit lebih maju atau inovatif, pengusaha dapat menawarkan kelebihan kemampuan yang dimiliki perusahaanya kepada pihak lain untuk menjalankan usahanya. Pada kenyataannya pemberian perizinan penggunaan teknologi dan atau pengetahuan itu saja dalam banyak hal masih dirasakan kurang cukup oleh kalangan usahawan, khususnya bagi mereka yang berorientasi internasional.

  • Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah usaha sektor informal berupa usaha dagang yang kadang-kadang juga sekaligus produsen. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong) menjajakan bahan makanan, minuman dan barang-barang konsumsi lainnya secara eceran. PKL Umumnya bermodal kecil terkadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya.

Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjajahan dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintah daerahan Belanda pada waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.Keberadaan PKL merupakan suatu realita saat ini, bersamaaan dengan tumbuh dan berkembangnya geliat perekonomian di suatu kota.

Hak-hak mereka untuk mendapatkan rejeki yang halal di tengah sulitnya mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan tentunya tidak bisa dikesampingkan. Kehadiran mereka bermanfaat bagi masyarakat luas terutama bagi yang sering memanfaatkan jasanya. Namun keberadaan pedagang kaki lima memunculkan permasalahan sosial dan lingkungan berkaitan dengan masalah kebersihan, keindahan dan ketertiban suatu kota.Ruang-ruang publik yang seharusnya merupakan hak bagi masyarakat umum untuk mendapatkan kenyamanan baik untuk berolahraga, jalan kaki maupun berkendara menjadi terganggu. Tidak dapat dipungkiri bila saat ini banyak kualitas ruang kota kita semakin menurun dan masih jauh dari standar minimum sebuah kota yang nyaman, terutama pada penciptaan maupun pemanfaatan ruang terbuka yang kurang memadai. Memang persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah daerah kota bertanggungjawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, pemerintah daerah membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat. Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemerintah daerah lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata para PKL.

  • Pedagang Kekinian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun